[REVIEW] Wonderful Life Movie (2016) ; Konflik Batin Keluarga Penyandang Disleksia yang Berakhir Bahagia


Film Wonderful Life (2016) diangkat dari kisah nyata Amalia Prabowo dalam mendidik putranya.  Setelah sukses dengan versi cetaknya, buku yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) 2013 ini diangkat ke layar lebar, mengambil bagian dalam meramaikan dunia perfilman Indonesia.

Film yang dibintangi Atiqah Hasiholan (Amalia Prabowo), dan Sinyo (Aqil ; Anak Amalia Prabowo) ini bisa di tonton semua umur. Amalia Prabowo merupakan seorang ibu satu anak yang kesehariannya bekerja sebagai CEO di salah satu perusahaan besar. 

Baca juga : FILM CHRISYE (2017) : Sebuah Perjalanan Pencarian akan Hakikat Tuhan 


Ayah Amalia mendidik anak-anaknya dengan disiplin tinggi dan menuntut kesuksesan  anak dengan ukuran orang tuanya. Lahir dari orang tua yang berada, sehingga biaya pendidikan bagi keluarganya bukanlah menjadi soal asalkan anaknya bisa mendapat nilai sempurna dan peringkat 1 di kelasnya. Konsep pendidikan ayah Amalia ini secara tidak langsung telah diadopsi oleh Amalia dalam mendidik putranya Aqil. Ditambah lagi Aqil tinggal bersama kakeknya dan terwarnai dengan  pengasuhan kakeknya  karena Amalia sibuk dengan urusan pekerjaannya. 

Ternyata jalan yang dilalui Amalia tidak begitu mulus dalam mendidik anaknya. Alih-alih ingin anaknya pintar dan menjadi juara kelas, Amalia mendapati anaknya  tidak bisa membaca dan menulis.  Aqil juga selalu kesulitan dalam menuliskan rangkaian huruf menjad suatu kalimat  meskipun aqil sudah duduk di bangku SD kelas 3. Aqil lebih senang menggambar dari pada harus belajar membaca dan menulis. Sehingga kesempatan yang ada didepannya selalu ia gunakan untuk menggambar, menuangkan imajinasi yang ada di kepalanya. Aqil anak kesayangannya dan cucu kesayangan kakeknya ini divonis menyandang disleksia. Tak ayal, disleksia yang diderita oleh Aqil membuatnya dicemooh oleh teman sekelasnya.

Mendapati kenyataan yang terjadi pada anaknya, ia merasa akan ada penghalang besar atas kesuksesan Aqil dimasa yang akan datang. Untuk menghilangkan ketakutan itu, Amalia berkonsultasi kepada beberapa lembaga pengembangan diri dan karakter agar anaknya bisa sama dengan anak-anak lain seusianya yaitu bisa menulis dan membaca. Tapi Semua pakar ahli dari lembaga tersebut angkat tangan. Menurutnya, persoalan yang terjadi pada Aqil merupakan persoalan yang tidak bisa dipecahkan dengan pemaksaan-pemaksaan yang dilakukan oleh orang lain, baik dilakukan  oleh seorang pakar ataupun orang terdekatnya.

Tekanan dari ayahnyapun semakin besar, kala ia mengetahui cucu kesayangannya tidak ada perkembangan yang baik dalam proses belajar mengajarnya. Tekanan tersebut membuat Amalia memilih jalan lain yang diluar logika, yang pada akhirnya ia memutuskan untuk berobat ke beberapa paranormal untuk bisa menyembukan penyakit anaknya. 


Kondisi Aqil menjadi pemicu konflik antara Amalia dan Ayahnya serta Amalia dengan Aqil. Demi kesembuhan anaknya yang merupakan keinginan besar Amalia agar Aqil bisa sukses sekolah dan pekerjaannya, ia memilih mengambil cuti panjang disaat kantornya sedang amat sangat membutuhkannya. Ia bertekad mencarikan orang yang bisa menyembuhkan penyakit anaknya meski harus ketempat yang sangat jauh sekalipun. Agar ia bisa melihat anaknya secerdas dan sesukses dirinya. Sebagai seorang yang penting di sebuah perusahaan besar, maka iapun tidak akan beitu saja dibiarkan "cuti", ditengah tumpukan tuntutan pekerjaan agar menang tender besar dalam waktu yang dekat, maka dalam masa cutinya ia selalu dihubungi oleh orang kantor terkait pekerjaannya.

Sudah banyak pengobatan yang ia datangi, tapi semuanya tak ada hasil. Sampai ia tersadarkan dengan tindakan yang ia lakukan selama ini dalam memperlakukan anaknya. Perubahan dan penerimaan itu tak lain belajar dari peristiwa yang  ia alami serta nasehat-nasehat orang yang ia kunjungi saat melakukan pengobatan untuk anaknya. Ia tersadar telah mengekang keinginan sang anak dalam menjalani apa yang ia sukai, yang sebelumnya harus memenuhi apa yang ia inginkan.

Selama ini penyakit anaknya diposisikan sebagai musuh dan aib yang harus disingkirkan agar anaknya bisa menjadi apa yang ia (orang tua) inginkan. Amalia mulai pasrah dan menerima apa yang disandang anaknya. Pola pengasuhan kepada anaknya mulai ia rubah dengan sangat drastis. Amalia memfasilitasi apa yang menjadi kesenangan anaknya. Aqilpun mulai nyaman dengan perlakuan orang tua terhadapnya. Bakat atau kemampuan Aqilpun terasah baik akibat konsep pengasuhan ibunya itu. Sehingga Aqil bisa melejit dengan prestasinya. 

Film Wonderful  Life yang diproduksi oleh PT. Visinema Pictures ini menarik perhatian brand ternama Indonesia yaitu Martha Tilaar Group untuk turut andil dalam pembuatan film tersebut. Martha Tilaar Group dengan brand komersialnya Sari Ayu, menilai ada kesamaan pesan yang disampaikan film Wonderful Life dengan value yang diemban perusahaan. Dalam konferensi pers Wonderful Life di Jakarta Marketing Week 2016, Wulan Tilaar yang merupakan Chairwomen Martha Tilaar Group menuturkan nilai yang dimaksud adalah empowering women yang menjadi pilar perusahaan. Film ini juga menjadi gerbang awal bagi Martha Tilaar Group untuk memperkenalkan gerakan bertajuk #BeWonderful yang bertujuan mengajak perempuan agar hidup mandiri. Gerakan ini akan dikembangkan dalam berbagai aktifitas yang sesuai dengan pilar Martha Tilaar Group, yaitu beuaty, culture, beauty education, beauty green dan empowering women"

Film Wonderful Life (2016) ini sangat direkomendasikan untuk para orang tua dan calon orang tua agar ia lebih kaya akan persoalan dan penyelesaian pengasuhan anak, yang bisa ia gunakan dalam mendidik anak-anaknya jika menemui hal yang demikian. Terkadang peristiwa yang telah dialami oleh orang lain ini akan sangat mudah diambil hikmahnya dan ketidakbaikan pola pengasuhan tersebut bisa menjadi antisipasi kita dalam mendidik anak-anak kita.

Setiap anak terlahir fitrah (baik) yang dibekali Tuhannya dengan bekal-bekal yang kadang berbeda dengan anak-anak lainnya. Model pengasuhan yang memaksakan hanya akan mengekang bakat dan kecerdasan anak itu sendiri, sehingga ia merasa terpenjara ketika harus menuruti keinginan dan ambisi orang tuanya. Sang anak  tak bisa mengekspresikan apa yang sejatinya menjadi keinginan dirinya yang akhirnya akan mematikan potensi besarnya.

Arahan dan penanganan tepat orang tua yang dimasukkan dalam konsep pengasuhannya akan menjadikan anak itu lebih berkembang dan nyaman serta bisa melejit dengan potensi  terpendamnya.


Yang penasaran bisa langsung merapat ke bioskop atau XXI terdekat, agar lebih utuh cerita dan sudut pandangnya. Lebih seru lagi kalau dijadikan family time sambil jalan jalan dan makan-makan. Film ini mulai tayang serentak di bioskop seluruh Indonesia pada hari kamis 13 Oktober 2016. Selamat menikmati.

Jika artikel yang berjudul  [REVIEW] Wonderful Life Movie (2016) ; Konflik Batin Keluarga Penyandang Disleksia yang Berakhir Bahagia ini bermanfaat, silakan disebarkan atau dibagikan. Terima kasih atas kunjungannya.

Post a Comment for "[REVIEW] Wonderful Life Movie (2016) ; Konflik Batin Keluarga Penyandang Disleksia yang Berakhir Bahagia"