Kultum Ramadhan : 2 Kebijakan Umar di malam Ramadhan



Dalam Kitab Shalatit Tarawih bab Fadhlu Man Qaama Ramadhaan, dari Abdurrahman bin Abdul Qari radliyallahu `anhu, Aku pernah keluar rumah bersama Umar bin Al-Khattab radliyallahu `anhu di malam Ramadlan menuju masjid Nabawi. Ternyata didapati padanya kaum Muslimin sedang shalat terpisah-pisah di masjid masing-masing shalat tarawih sendiri-sendiri . Dan ada pula yang shalat diikuti oleh sekelompok orang. 

Maka ketika melihat pemandangan demikian, berkata Umar: “Aku berpandangan seandainya mereka disatukan dengan satu imam, niscaya yang demikian itu lebih bagus.” Kemudian beliau bertekad menjalankan pandangannya itu dengan disatukan dalam satu jama’ah shalat tarawih dengan imam yang beliau pilih, yaitu Ubay bin Ka’ab. Kemudian aku di malam lain keluar lagi bersama Umar ke masjid dan kaum Muslimin sedang shalat tarawih dengan satu jama’ah dan satu imam. Maka Umar pun menyatakan: “Sebaik-baik bid’ah itu adalah yang demikian.” (HR. Al-Bukhari dalam Shahihnya, Kitab Shalatit Tarawih bab Fadhlu Man Qaama Ramadhaan, hadits ke 2010 dari Abdurrahman bin Abdul Qari radliyallahu `anhu).

Dari hadist tadi dapat disimpulkan ada 3 kebijakan

  1.  Tarawih berjamaah dengan 1 imam
  2.  Dimajukan waktunya bada isya

Menyikapi pernyataan terakhir umar bin khatab banyak ulama yang berusaha meluruskan dengan memberi batasan. Ibnu katsir, Imam Asy-Syatibi dan Ibnu Taimiyah mempunyai pendapat yang sama tentang hal ini. Beliau beliau ini mengatakan bahwa apa yang dikatakan umar adalah bidah secara bahasa, bukan bidah secara syari.

Padahal terkait bidah, umarpun pernah mengatakan hal berikut
Dari Abdullah bi Ukaim: “Umar menyatakan: “Sesungguhnya omongan yang paling benar, adalah omongan Allah. Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk dari Muhammad dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam perkara agama. Dan semua yang baru dalam perkara agama adalah bid’ah. Dan semua bid’ah itu adalah sesat.” (Syarah I’tiqad Ahlus Sunnah wal Jama’ah)

Dari Aisyah ra “Barangsiapa yang membikin sesuatu yang baru dalam agama kami ini, padahal ia bukan bagian dari agama ini, maka sesuatu yang baru itu adalah sesuatu yang tertolak.” (HR. Bukhari no 2697 dan Muslim no. 1718).
Ibnu Taimiyahpun mengatakan dalam kitab Iqtidla’ Shirathal Mustaqim. “Penamaan Umar terhadap perbuatan Shalat Tarawih dengan satu imam itu sebagai bid’ah hasanah, adalah bid’ah dalam arti bahasa dan bukan bid’ah dalam pengertian Syari’ah. Dimana pengertian bid’ah secara bahasa ialah segala perbuatan yang baru dilakukan dengan tidak ada yang menduhuluinya. Sedangkan bid’ah dalam pengertian Syari’ah ialah semua perkara agama yang tidak ada dalilnya dari dalil-dalil Syar’i.”

Selanjutnya beliau menambahkan:
“Kalau begitu, maka kita dapati kenyataan bahwa Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wasallam dan para Shahabatnya telah pernah menunaikan shalat qiyam Ramadlan baik dalam berjamaah maupun sendiri-sendiri. Ketika mereka shalat Tarawih berjamaah di belakang Nabi saw sejak hari pertama Ramadhan sampai hari ketiga atau hari keempat, Beliaupun akhirnya tidak keluar ke masjid ketika mereka sudah berkumpul untuk melaksanakan shalat Tarawih. Beliau mengemukakan alasannya mengapa tidak keluar ke masjid: “Sesungguhnya aku mengerti bahwa kalian berkumpul di masjid. Akan tetapi aku takut  diwajibkannya shalat tarawih itu atas kalian. Dan seandainya diwajibkan, niscaya kalian tidak akan mampu menunaikannya. Oleh karena itu, silakan kalian shalat di rumah-rumah kalian. Karena seutama-utama shalatnya seorang pria itu adalah di rumahnya, kecuali shalat yang wajib.”  (HR. Bukhari dalam Shahihnya dari Zaid bin Tsabit.

Sehingga ada beberapa orang mungkin menyiasati agar tidak dibilang bidah mereka mencoba mencari kesamaam perbuatan atau aktifitas sekarang dengan aktifitas dimasa rasul entah itu sebagai kebenaran atau hanya sebagai pembenaran Allahu a’lam. Semuanya dikembalikan kepada yang melakukan ijtihad.

Post a Comment for "Kultum Ramadhan : 2 Kebijakan Umar di malam Ramadhan"