Pengelolaan laut dan pesisir
Latar Belakang
Pesisir kembali menjadi perhatian dunia. Gempa 17 Juli 2006 di Samudera Hindia lepas pantai selatan Jawa yang kemudian diikuti tsunami merusak kawasan pesisir selatan Jawa. Sebelumnya, Tsunami tanggal 26 Desember 2004 juga meluluhlantakkan pesisir sejumlah negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Pesisir Aceh merupakan kawasan paling parah kerusakannya karena posisinya yang sangat dekat dengan pusat gempa.
Bencana tersebut tidak hanya merenggut korban jiwa manusia yang sangat banyak, tetapi juga merusak infrastruktur, pemukiman, sarana dan prasarana publik, termasuk rusaknya ekosistem-ekosistem pesisir seperti intrusi air laut dan endapan lumpur ke darat, hancurnya terumbu karang dan tercabutnya beberapa vegetasi pesisir, berubahnya garis pantai dan morfologi lahan basah. Kerusakan bio-fisik tersebut pada akhirnya menyebabkan rusaknya berbagai tatanan penghidupan sosial-ekonomi-budaya masyarakat di kawasan ini.
Salah satu program yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi kelautan dan perikanan adalah program Green Coast. Program yang merupakan kerja sama WWF, Wetlands Internasional, Both ENDs dan IUCN dengan dukungan dana dari OXFAM Belanda bertujuan melindungi keunikan ekosistem pesisir dan memperbaiki mata pencaharian penduduk pesisir. Target dari kegiatan ini adalah memperbaiki fungsi ekologis daerah pesisir dan menyediakan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi penduduk pesisir di daerah yang terkena tsunami. Keluaran dari program ini adalah terehabilitasinya kondisi alam pantai dan adanya mata pencaharian yang baru atau telah diperbaharui, mengembalikan mata pencaharian rakyat (seperti perikanan, peternakan, ekowisata dan lain sebagainya), penggunaan sumber daya baru yang tercipta melalui partisipasi masyarakat dengan fokus pada perencanaan dan perempuan.
Pesisir Nangru Aceh Darussalam
Pesisir merupakan sebuah kawasan yang khas dan sangat penting artinya. Kawasan ini secara natural merupakan daerah transisi, pertemuan antara daratan dan lautan karena itu sangat logis apabila kawasan ini rawan dari bencana-bencana yang berasal dari lautan. Kawasan pesisir juga sering menjadi tempat dimana konsentrasi ekonomi dan demografi bertemu. Badan dunia memperkirakan hampir separuh dari penduduk dunia tinggal di daerah pesisir yang hanya 22% dari luas total daratan dunia. Jumlah ini akan berlipat dua kali pada tahun 2050. Pusat ekonomi dunia banyak terdapat di kawasan ini. Tokyo, Hongkong, Singapura, London dan New York berada di daerah pesisir. Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam juga terletak di kawasan pesisir. Alasannya sederhana, kawasan ini memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan kontinen.
Selain tekanan demografi dan ekonomi, kawasan ini juga sangat rawan akan bencana. Selain tsunami, badai tropis yang disertai limpasan ombak besar juga menjadi hantu menakutkan bagi populasi yang mendiami kawasan pantai. Tragedi badai di Bangladesh pada tahun1991 yang menelan korban hingga 145.000 jiwa atau badai Katrina di pesisir Louisiana, Amerika Serikat adalah sedikit contoh dari betapa rapuh (fragile) kawasan ini.
Kompleksitas kawasan pesisir tentunya membutuhkan sebuah pengelolaan yang terpadu. Pengelolaan yang menata berbagai kegiatan yang berlangsung di kawasan tepi laut ini. Isu pembangunan kawasan pesisir secara terpadu mulai mendapat perhatian dunia setelah sebuah konferensi PBB di bidang Pembangunan dan Lingkungan (United Nation Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil menghasilkan sebuah agenda 21 dimana isu perlindungan laut dan pantai tertera dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 17. Manajemen Kawasan Pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management, begitulah disebut sebuah konsep pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir pantai.
Konsep Dasar Pengelolaan
Sebagaimana halnya pengelolaan lingkungan, pengelolaan kawasan pesisir melibatkan dua entitas, yaitu entitas alam dan manusia. Alam atau lingkungan pesisir memberikan jasanya untuk manusia yang mendiami lingkungan pesisir dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Kalau direnungi, diantara kedua entitas tersebut, hanya kegiatan manusia merupakan variable, artinya kegiatan atau program pembangunan dapat diubah atau disesuaikan. Sedangkan lingkungan mempunyai sebuah logika/aturan tersendiri (sunnatullah) dalam siklus hidupnya. Karena itu, untuk mencapai harmonisasi lingkungan dan pembangunan diperlukan adanya pemahaman yang benar tentang lingkungan pesisir sehingga aktivitas pembangunan tidak sampai mengurangi apalagi merusak kapasitas lingkungan dalam memberikan jasanya kepada manusia.
Mungkin menjadi pertanyaan, sampai batas mana sebuah daerah dapat dikatakan sebuah kawasan pesisir? Tidak ada batasan yang baku tentang kawasan pesisir, namun dapat dijelaskan dengan sebuah kriteria bahwa kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Di Aceh, kawasan pesisir menjadi lebih mudah untuk didefinisikan. Daratan yang digenangi air laut pada saat tsunami merupakan kawasan pesisir. Jangkauan pasang surut pasca tsunami yang merambah lebih dalam ke daratan juga dapat menjadi kriteria penentuan batas fisik daerah pesisir. Namun, dalam perencanaannya, batasan spasial ini menjadi elastis. Pembangunan bendungan di hulu sebuah sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau penebangan hutan dapat menjadi isu pembangunan kawasan pesisir apabila bendungan dan penebangan tersebut mempengaruhi berkurang atau bertambahnya suplai sedimen ke perairan pesisir yang berakibat pada instabilitas fisik garis pantai, berkurangnya pasokan senyawa kimia yang dibutuhkan phytoplankton dan matinya terumbu karang akibat kekeruhan perairan di sekitar terumbu karang.
Idealnya, dalam sebuah proses pengolalaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harus melibatkan minimal tiga unsur ,yaitu ilmuwan , pemerintah dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir hanya dapat dipahami oleh ilmuwan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan msyarakat pesisir sebagai pelaku dengan tujuan meningkatkan keadaan sosial ekonomi kawasan.
Nilai Ekologi dan Ekonomi Pesisir
Pesisir merupakan ruang yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Berbagai kegiatan ekonomi berada di ruang yang sempit ini. Perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan, industri, pariwisata bahkan pemerintahan kerap ditemui di daerah pesisir ini. Disamping itu, fitur lingkungan khas pesisir yang mendukung kegiatan ekonomi pesisir meliputi estuari, laguna, pantai pasir, terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove) dan hutan pantai lainnya. Terkadang masing-masing kegiatan tersebut bisa saling mempengaruhi. Degradasi lingkungan pesisir akibat industri dapat menurunkan produktivitas perikanan. Konversi mangrove atau hutan bakau menjadi kawasan industri atau pertambakan dapat mengurangi fungsi pesisir sebagai tempat pemijahan (spawning) dan pembesaran (nursery) ikan sehingga mempengaruhi ketersediaan ikan di lautan. Pentingnya fungsi bakau bagi fish stock terungkap dalam laporan Rodney V. Salm yang mengungkapkan bahwa pada 1975 setidaknya 555.000 ton ikan atau senilai US 194 juta tergantung langsung dengan keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Mangrove atau bak bangka juga berfungsi sebagai peredam alami dari gempuran gelombang pasang karena struktur akarnya yang saling mengikat. Ditambah lagi, kemampuan mangrove sebagai purifier yang dapat mendegradasi polutan seperti logam berat dan zat beracun yang semakin menambah pentingnya nilai salah satu tipe lahan basah ini.
Terumbu karang, seperti halnya hutan bakau, adalah pemecah gelombang alami yang meredam energi gelombang sebelum mencapai pantai. Nilai ekologis dan ekonomi terumbu karang ini sangat besar. Constanza dkk (1997) memperkirakan nilai ekonomis terumbu karang adalah US$ 600.000 per km², menempati peringkat kedua setelah mangrove US$ 900.000. Ikan karang yang mendiami kawasan terumbu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kerapu, Napoleon dan berbagai ikan hias merupakan sumber penghidupan nelayan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab seperti peledakan dan penggunaan trawl secara serampangan harus dijauhi karena dapat merusak habitat ikan mahal tersebut yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan terumbu karang untuk memberikan jasanya pada nelayan. Selain sumber daya perikanan, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi karena keindahan yang ditawarkannya sehingga dapat membangkitkan sektor pariwisata di sekitar ekosistem ini. Terumbu karang juga merupakan laboratorium farmakologi alam. Menurut Ruggieri, sea fans dan anemones -jenis karang yang hidup dalam ekosistem ini- mempunyai senyawa bioaktif yang dapat digunakan untuk bahan dasar obat anti bakteri, anti leukemia, anti kanker dan anti koalgulasi (pembekuan darah). Selain mangrove dan terumbu karang, ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun atau pasir putih juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi tinggi seperti habitat bagi mamalia laut langka, dugong atau ikan duyung, reproduksi penyu dan pariwisata pantai.
Permasalahan yang berkenan dengan pemanfaatan pesisir dan laut di Provinsi Nanggroe
Adapun beberapa permasalahan pada daerah pesisir Aceh Darussalam diantaranya adalah :
o Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang.
o Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai.
o Pencemaran laut akibat limbah rumah tangga dan kapal.
o Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl (pukat harimau)
o Rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan kelautan danperikanan.
o Pada umumnya nelayan tradisional tumbuh dan berkembang secara alami dan melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan naluri dan pengalaman yangdiperoleh secara turun-temurun.
o Kurangnya pembinaan terhadap nelayan.
o Tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan pesisir dan laut.
o Terjadinya tumpang tindih perizinan eksploitasi di wilayah pesisir dan laut.
o Belum adanya pengaturan tata ruang untuk kegiatan budidaya.
o Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yan boleh dikonversi untuk pengembangan pertambakan.
o Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan (konflik antar sektor, antar tingkat pemerintahan, dan antar daerah otonom).
o Terjadinya konflik antar nelayan (antara nelayan tradisional dan nelayan modern).
o Rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan penegakan hukum (law enforcement).
o Belum adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman permodalan usaha kepada nelayan, terutama nelayan tradisional sehingga nelayan identik dengankemiskinan.
o Belum terdapat kelembagaan pengelolaan bersama antara pemerintah dan pihak lain dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Pengelolaan Kawasan Pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam konteks Aceh, Pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mempunyai tiga fungsi yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan dan perlindungan ekosistem. Keterpaduan dari tiga fungsi ini diharapkan berujung pada sebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Fungsi mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh tidak lepas karena kondisi geologis provinsi ini. Aceh berada di sekitar zona subduksi atau pertemuan lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan rata-rata 52 mm pertahun menyebabkan rangkaian gempa yang tidak pernah berhenti. Gempa yang kekuatannya di atas 6,5 skala Richter (SR) dan terjadi di laut bisa berpotensi menghasilkan kembali tsunami di pesisir Aceh. Kenaikan muka air laut akibat pasang ataupun pemanasan global juga menjadi ancaman karena beberapa daerah di Aceh sangat landai contohnya Banda Aceh.
Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan beberapa cara. Spatial planning atau tata ruang adalah kebijakan paling mendasar dalam pengelolaan pesisir. Ruang pesisir yang sangat sempit ini harus menampung sedemikian banyak dan kompleksnya kegiatan sosial ekonomi. Tata ruang pesisir yang baik juga dapat memperkecil resiko kerusakan dari bencana yang berasal dari laut seperti tsunami dan badai tropis. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudah seharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir dengan memberikan ruang khusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupun angin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove, hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata pencaharian masyarakat.
Konsep tata ruang yang terdapat di dalam blue print rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sudah memasukkan konsep coastal setback. Tata ruang tersebut sebenarnya adalah tata ruang ideal dan seharusnya dilaksanakan di kawasan pesisir Aceh. Namun tentunya tidak semua yang ideal itu bisa diterapkan. Penetapan buffer zone mempunyai konsekuensi bahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal banyak daerah yang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelum tsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya seperti sediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korban tsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana. Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunami sebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuah tata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapat menyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa ini mensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat. Terkadang warga harus mengorbankan sebagian tanahnya untuk membuat fasilitas umum seperti jalan dan drainase. Perencanaan desa yang menata sistem drainase, air bersih, penghijauan dan pengolahan sampah/limbah guna peningkatan kualitas hidup dan lingkungan desa mempunyai efek positif bagi kesehatan lingkungan pesisir karena pemukiman –sebagai salah satu sumber pencemaran perairan pesisir- akan lebih sedikit memberikan stress berupa polusi ke perairan pesisir.
Kiranya ke depan perlu dibuat sebuah peraturan daerah tentang tata ruang pesisir yang memasukkan prinsip coastal setback dalam pembangunan baru di wilayah pesisir. Sebagai contoh, Perancis mempunyai sebuah undang-undang pesisir -la loi littoral- yang melarang pembangunan dalam jarak 100 m dari bibir pantai kecuali bagi bangunan yang sudah ada sebelumnya atau untuk keperluan ilmu pengetahuan, industri pelabuhan dan militer . Pelarangan ini terkait dengan usaha reduksi tekanan terhadap lingkungan pesisir dari kegiatan manusia dan juga melindungi kegiatan manusia dari limpasan gelombang (storm surge) pada saat terjadi badai (tempête). Coastal setback atau penyangga juga diterapkan di beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Kepulauan Karibia. Disamping itu, penetapan beberapa kawasan konservasi pantai dan laut (Marine and Coastal Protected Areas) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pesisir untuk perlindungan pantai dan mendukung kerberlanjutan perikanan.
Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasi yang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besar dalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warning system) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnya peringatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) warga dengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu sebelum tsunami mencapai pantai.
Pengembangan ekonomi di kawasan pesisir tidak dapat dilepaskan dari pemulihan lingkungan. Sejak dulu lingkungan pesisir telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat seperti nelayan dan petambak. Lingkungan pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami harus dipulihkan. Selain kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, kegiatan-kegiatan yang memberikan tekanan (stress) bagi kedua ekosistem tersebut harus dihentikan sehingga laju pemulihannya lebih cepat. Pembangunan infrastruktur yang menghambat suplai air tawar ke kawasan penanaman kembali mangrove atau penebangan hutan yang meningkatkan sedimentasi di perairan pesisir harus dihentikan.
Perlu dicamkan bahwa pemulihan lingkungan atau terciptanya lingkungan pesisir yang sehat bukanlah tujuan akhir dari sebuah pengelolaan kawasan pesisir. Lingkungan merupakan sarana menuju tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir. Seringkali kemiskinan dan ketidaktahuan menjadi penyebab utama dari degradasi lingkungan. Diseminasi pengetahuan tentang nilai lingkungan dan dukungan finansial, manajemen serta pemasaran berbentuk koperasi usaha masyarakat yang bergerak di bidang penangkapan ikan karang hidup bernilai ekonomi tinggi atau peternakan lebah madu dan budidaya kepiting bakau tampaknya lebih menarik bagi masyarakat pesisir ketimbang meledakkan terumbu karang di Pulau Banyak dan menebang hutan bakau di Aceh Tamiang.
Pengembangan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan pesisir akan menyebabkan rapuhnya keberlanjutan kesejahteraan (sustainable livelihood) masyarakat pesisir. Pemberian bantuan boat nelayan yang berlebihan dapat membahayakan keberlangsungan profesi nelayan itu sendiri. Daya dukung mangrove di Aceh mencapai titik nadir akan menurunkan ketersediaan ikan di perairan pantai, terutama ketersediaan ikan yang bergantung langsung dengan mangrove. Untuk menghindari hal yang tersebut, perlu adanya pengurangan tekanan yang bersifat eksploitatif. Misalnya pembangunan armada boat kecil dikurangi dan lebih berfokus pada pembangunan boat besar untuk menangkap ikan migrasi besar di laut lepas yang tidak terlalu tergantung terhadap ekosistem mangrove, tuna misalnya. Di sisi angkatan kerja, konversi pekerjaan juga dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan tersebut. Industri perikanan dapat menampung tenaga kerja yang dulunya berprofesi sebagai nelayan sehingga tekanan terhadap ketersediaan ikan berkurang. Industri perikanan juga memberikan nilai tambah pada produk perikanan dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
Saat ini, pembangunan kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kegiatan utama rehabilitasi dan rekonstruksi. Berbagai aktor turut serta dalam proses ini. Dalam pengelolaan pembangunan ini, mutlak diperlukan komunikasi intensif antara stakeholder pesisir Aceh. Pelibatan masyarakat dan ilmuwan sangat penting guna mewujudkan pembangunan pesisir berkelanjutan, berbasis pada daya dukung lingkungan. Pemda, BRR dan NGO sebagai aktor utama pembangunan kembali pesisir harus mempunyai koordinasi padu sehingga tercipta visi yang sama tentang kemana arah pembangunan pesisir Aceh. Ketika visi tersebut diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan tidak akan terjadi tumpang tindih melainkan program dan kegiatan tersebut berjalan seiring dan saling melengkapi. Kita mempunyai potensi untuk membangun pesisir Aceh lebih baik. Komitmen pemerintah dan dunia internasional berupa dana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh melebihi dari kerugian yang diderita. Namun dana besar saja belum cukup. Diperlukan keseriusan, kejujuran dan profesionalisme dalam mengangkat potensi diatas menjadi realitas. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi
Kesimpulan
Pesisir sebagai suatu kawasan peralihan daratan dan lautan merupakan tempat wilayah yang sangat berperan penting bagi semua aspek kehidupan biota laut maupun manusianya sendiri, sehingga perlu adanya pengelolaan yang terencana guna menjaga agar tatanan yang ada disekitar kawasan tersebut terbebas dari hal yang tidak diinginkan seperti rob, pencemaran, ersosi, pembalakan hutan mangrove, dan lain sebagainya.
Kompleksitas kawasan pesisir tentunya membutuhkan sebuah pengelolaan yang terpadu. Pengelolaan yang menata berbagai kegiatan yang berlangsung di kawasan tepi laut ini, sehingga dunia internasionalpun mencanagkan beberapa konsep pembangunan terpadu untuk wilayah pesisir danlaut salah satunya adalah Manajemen Kawasan Pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management atau yang dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2005. Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
Dahuri, Rochmin. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni 2000, Banda Aceh.
Djuned, T. 1995. Pengelolaan Lingkungan Laut Oleh Panglima Laot (Suatu Studi Di Kotamadya Banda Aceh), Laporan Penelitian. Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh.
Halim, Abdul,. 2003 Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, disampaikan dalam Rokornis Bapedalda Se-Provinsi NAD, Banda Aceh.
Hurgronje, Snouck, Aceh Di Mata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985.
http://kaifamart.multiply.com/journal
Pesisir kembali menjadi perhatian dunia. Gempa 17 Juli 2006 di Samudera Hindia lepas pantai selatan Jawa yang kemudian diikuti tsunami merusak kawasan pesisir selatan Jawa. Sebelumnya, Tsunami tanggal 26 Desember 2004 juga meluluhlantakkan pesisir sejumlah negara yang berbatasan dengan Samudera Hindia. Pesisir Aceh merupakan kawasan paling parah kerusakannya karena posisinya yang sangat dekat dengan pusat gempa.
Bencana tersebut tidak hanya merenggut korban jiwa manusia yang sangat banyak, tetapi juga merusak infrastruktur, pemukiman, sarana dan prasarana publik, termasuk rusaknya ekosistem-ekosistem pesisir seperti intrusi air laut dan endapan lumpur ke darat, hancurnya terumbu karang dan tercabutnya beberapa vegetasi pesisir, berubahnya garis pantai dan morfologi lahan basah. Kerusakan bio-fisik tersebut pada akhirnya menyebabkan rusaknya berbagai tatanan penghidupan sosial-ekonomi-budaya masyarakat di kawasan ini.
Salah satu program yang terlibat dalam kegiatan rehabilitasi dan rekonstruksi kelautan dan perikanan adalah program Green Coast. Program yang merupakan kerja sama WWF, Wetlands Internasional, Both ENDs dan IUCN dengan dukungan dana dari OXFAM Belanda bertujuan melindungi keunikan ekosistem pesisir dan memperbaiki mata pencaharian penduduk pesisir. Target dari kegiatan ini adalah memperbaiki fungsi ekologis daerah pesisir dan menyediakan mata pencaharian yang berkelanjutan bagi penduduk pesisir di daerah yang terkena tsunami. Keluaran dari program ini adalah terehabilitasinya kondisi alam pantai dan adanya mata pencaharian yang baru atau telah diperbaharui, mengembalikan mata pencaharian rakyat (seperti perikanan, peternakan, ekowisata dan lain sebagainya), penggunaan sumber daya baru yang tercipta melalui partisipasi masyarakat dengan fokus pada perencanaan dan perempuan.
Pesisir Nangru Aceh Darussalam
Pesisir merupakan sebuah kawasan yang khas dan sangat penting artinya. Kawasan ini secara natural merupakan daerah transisi, pertemuan antara daratan dan lautan karena itu sangat logis apabila kawasan ini rawan dari bencana-bencana yang berasal dari lautan. Kawasan pesisir juga sering menjadi tempat dimana konsentrasi ekonomi dan demografi bertemu. Badan dunia memperkirakan hampir separuh dari penduduk dunia tinggal di daerah pesisir yang hanya 22% dari luas total daratan dunia. Jumlah ini akan berlipat dua kali pada tahun 2050. Pusat ekonomi dunia banyak terdapat di kawasan ini. Tokyo, Hongkong, Singapura, London dan New York berada di daerah pesisir. Secara historis, kota-kota penting dunia bertempat tidak jauh dari laut. Ibu kota Kerajaan Aceh Darussalam juga terletak di kawasan pesisir. Alasannya sederhana, kawasan ini memudahkan terjadinya pedagangan antar daerah, pulau dan kontinen.
Selain tekanan demografi dan ekonomi, kawasan ini juga sangat rawan akan bencana. Selain tsunami, badai tropis yang disertai limpasan ombak besar juga menjadi hantu menakutkan bagi populasi yang mendiami kawasan pantai. Tragedi badai di Bangladesh pada tahun1991 yang menelan korban hingga 145.000 jiwa atau badai Katrina di pesisir Louisiana, Amerika Serikat adalah sedikit contoh dari betapa rapuh (fragile) kawasan ini.
Kompleksitas kawasan pesisir tentunya membutuhkan sebuah pengelolaan yang terpadu. Pengelolaan yang menata berbagai kegiatan yang berlangsung di kawasan tepi laut ini. Isu pembangunan kawasan pesisir secara terpadu mulai mendapat perhatian dunia setelah sebuah konferensi PBB di bidang Pembangunan dan Lingkungan (United Nation Conference on Environment and Development-UNCED) tahun 1992 di Rio de Janeiro, Brasil menghasilkan sebuah agenda 21 dimana isu perlindungan laut dan pantai tertera dalam salah satu pasalnya, yaitu pasal 17. Manajemen Kawasan Pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management, begitulah disebut sebuah konsep pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir pantai.
Konsep Dasar Pengelolaan
Sebagaimana halnya pengelolaan lingkungan, pengelolaan kawasan pesisir melibatkan dua entitas, yaitu entitas alam dan manusia. Alam atau lingkungan pesisir memberikan jasanya untuk manusia yang mendiami lingkungan pesisir dalam rangka pemenuhan kebutuhan hidup. Kalau direnungi, diantara kedua entitas tersebut, hanya kegiatan manusia merupakan variable, artinya kegiatan atau program pembangunan dapat diubah atau disesuaikan. Sedangkan lingkungan mempunyai sebuah logika/aturan tersendiri (sunnatullah) dalam siklus hidupnya. Karena itu, untuk mencapai harmonisasi lingkungan dan pembangunan diperlukan adanya pemahaman yang benar tentang lingkungan pesisir sehingga aktivitas pembangunan tidak sampai mengurangi apalagi merusak kapasitas lingkungan dalam memberikan jasanya kepada manusia.
Mungkin menjadi pertanyaan, sampai batas mana sebuah daerah dapat dikatakan sebuah kawasan pesisir? Tidak ada batasan yang baku tentang kawasan pesisir, namun dapat dijelaskan dengan sebuah kriteria bahwa kawasan pesisir meliputi kawasan darat yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut (gelombang, pasang surut) dan kawasan laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami dan aktivitas manusia di daratan (sedimentasi, pencemaran). Di Aceh, kawasan pesisir menjadi lebih mudah untuk didefinisikan. Daratan yang digenangi air laut pada saat tsunami merupakan kawasan pesisir. Jangkauan pasang surut pasca tsunami yang merambah lebih dalam ke daratan juga dapat menjadi kriteria penentuan batas fisik daerah pesisir. Namun, dalam perencanaannya, batasan spasial ini menjadi elastis. Pembangunan bendungan di hulu sebuah sungai untuk pembangkit listrik tenaga air (PLTA) atau penebangan hutan dapat menjadi isu pembangunan kawasan pesisir apabila bendungan dan penebangan tersebut mempengaruhi berkurang atau bertambahnya suplai sedimen ke perairan pesisir yang berakibat pada instabilitas fisik garis pantai, berkurangnya pasokan senyawa kimia yang dibutuhkan phytoplankton dan matinya terumbu karang akibat kekeruhan perairan di sekitar terumbu karang.
Idealnya, dalam sebuah proses pengolalaan kawasan pesisir yang meliputi perencanaan, implementasi dan evaluasi, harus melibatkan minimal tiga unsur ,yaitu ilmuwan , pemerintah dan masyarakat. Proses alam lingkungan pesisir hanya dapat dipahami oleh ilmuwan dan kemudian pemahaman tersebut menjadi basis pertimbangan bagi pemerintah untuk melaksanakan program pembangunan yang menempatkan msyarakat pesisir sebagai pelaku dengan tujuan meningkatkan keadaan sosial ekonomi kawasan.
Nilai Ekologi dan Ekonomi Pesisir
Pesisir merupakan ruang yang mempunyai nilai ekologis dan ekonomi yang sangat tinggi. Berbagai kegiatan ekonomi berada di ruang yang sempit ini. Perikanan tangkap dan budidaya, pelabuhan, industri, pariwisata bahkan pemerintahan kerap ditemui di daerah pesisir ini. Disamping itu, fitur lingkungan khas pesisir yang mendukung kegiatan ekonomi pesisir meliputi estuari, laguna, pantai pasir, terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea grass), hutan bakau (mangrove) dan hutan pantai lainnya. Terkadang masing-masing kegiatan tersebut bisa saling mempengaruhi. Degradasi lingkungan pesisir akibat industri dapat menurunkan produktivitas perikanan. Konversi mangrove atau hutan bakau menjadi kawasan industri atau pertambakan dapat mengurangi fungsi pesisir sebagai tempat pemijahan (spawning) dan pembesaran (nursery) ikan sehingga mempengaruhi ketersediaan ikan di lautan. Pentingnya fungsi bakau bagi fish stock terungkap dalam laporan Rodney V. Salm yang mengungkapkan bahwa pada 1975 setidaknya 555.000 ton ikan atau senilai US 194 juta tergantung langsung dengan keberadaan hutan mangrove di Indonesia. Mangrove atau bak bangka juga berfungsi sebagai peredam alami dari gempuran gelombang pasang karena struktur akarnya yang saling mengikat. Ditambah lagi, kemampuan mangrove sebagai purifier yang dapat mendegradasi polutan seperti logam berat dan zat beracun yang semakin menambah pentingnya nilai salah satu tipe lahan basah ini.
Terumbu karang, seperti halnya hutan bakau, adalah pemecah gelombang alami yang meredam energi gelombang sebelum mencapai pantai. Nilai ekologis dan ekonomi terumbu karang ini sangat besar. Constanza dkk (1997) memperkirakan nilai ekonomis terumbu karang adalah US$ 600.000 per km², menempati peringkat kedua setelah mangrove US$ 900.000. Ikan karang yang mendiami kawasan terumbu mempunyai nilai ekonomi tinggi. Kerapu, Napoleon dan berbagai ikan hias merupakan sumber penghidupan nelayan yang sangat potensial untuk dikembangkan. Praktek penangkapan ikan yang tidak bertanggungjawab seperti peledakan dan penggunaan trawl secara serampangan harus dijauhi karena dapat merusak habitat ikan mahal tersebut yang pada gilirannya akan menghilangkan kemampuan terumbu karang untuk memberikan jasanya pada nelayan. Selain sumber daya perikanan, terumbu karang mempunyai nilai ekonomi karena keindahan yang ditawarkannya sehingga dapat membangkitkan sektor pariwisata di sekitar ekosistem ini. Terumbu karang juga merupakan laboratorium farmakologi alam. Menurut Ruggieri, sea fans dan anemones -jenis karang yang hidup dalam ekosistem ini- mempunyai senyawa bioaktif yang dapat digunakan untuk bahan dasar obat anti bakteri, anti leukemia, anti kanker dan anti koalgulasi (pembekuan darah). Selain mangrove dan terumbu karang, ekosistem pesisir lainnya seperti padang lamun atau pasir putih juga mempunyai nilai ekologis dan ekonomi tinggi seperti habitat bagi mamalia laut langka, dugong atau ikan duyung, reproduksi penyu dan pariwisata pantai.
Permasalahan yang berkenan dengan pemanfaatan pesisir dan laut di Provinsi Nanggroe
Adapun beberapa permasalahan pada daerah pesisir Aceh Darussalam diantaranya adalah :
o Terjadinya kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang.
o Terjadinya sedimentasi dan abrasi pantai.
o Pencemaran laut akibat limbah rumah tangga dan kapal.
o Penggunaan alat tangkap yang tidak ramah lingkungan, seperti trawl (pukat harimau)
o Rendahnya kapasitas sumber daya manusia (SDM) dalam pengelolaan kelautan danperikanan.
o Pada umumnya nelayan tradisional tumbuh dan berkembang secara alami dan melakukan kegiatan penangkapan ikan berdasarkan naluri dan pengalaman yangdiperoleh secara turun-temurun.
o Kurangnya pembinaan terhadap nelayan.
o Tumpang tindihnya kewenangan pengelolaan pesisir dan laut.
o Terjadinya tumpang tindih perizinan eksploitasi di wilayah pesisir dan laut.
o Belum adanya pengaturan tata ruang untuk kegiatan budidaya.
o Tidak adanya ketentuan yang jelas mengenai jumlah maupun alokasi mangrove yan boleh dikonversi untuk pengembangan pertambakan.
o Terjadinya konflik pemanfaatan dan kewenangan (konflik antar sektor, antar tingkat pemerintahan, dan antar daerah otonom).
o Terjadinya konflik antar nelayan (antara nelayan tradisional dan nelayan modern).
o Rendahnya kapasitas kelembagaan pemerintah dan penegakan hukum (law enforcement).
o Belum adanya lembaga keuangan yang dapat memberikan pinjaman permodalan usaha kepada nelayan, terutama nelayan tradisional sehingga nelayan identik dengankemiskinan.
o Belum terdapat kelembagaan pengelolaan bersama antara pemerintah dan pihak lain dalam konteks pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.
Pengelolaan Kawasan Pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam
Dalam konteks Aceh, Pengelolaan kawasan pesisir setidaknya harus mempunyai tiga fungsi yaitu mitigasi bencana, pengembangan ekonomi kawasan dan perlindungan ekosistem. Keterpaduan dari tiga fungsi ini diharapkan berujung pada sebuah pembangunan kawasan pesisir yang berkelanjutan.
Fungsi mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir Aceh tidak lepas karena kondisi geologis provinsi ini. Aceh berada di sekitar zona subduksi atau pertemuan lempeng besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia dan Eurasia. Tumbukan lempeng Indo-Australia yang bergerak ke utara dengan kecepatan rata-rata 52 mm pertahun menyebabkan rangkaian gempa yang tidak pernah berhenti. Gempa yang kekuatannya di atas 6,5 skala Richter (SR) dan terjadi di laut bisa berpotensi menghasilkan kembali tsunami di pesisir Aceh. Kenaikan muka air laut akibat pasang ataupun pemanasan global juga menjadi ancaman karena beberapa daerah di Aceh sangat landai contohnya Banda Aceh.
Mitigasi bencana dalam pengelolaan kawasan pesisir dapat dilakukan dengan beberapa cara. Spatial planning atau tata ruang adalah kebijakan paling mendasar dalam pengelolaan pesisir. Ruang pesisir yang sangat sempit ini harus menampung sedemikian banyak dan kompleksnya kegiatan sosial ekonomi. Tata ruang pesisir yang baik juga dapat memperkecil resiko kerusakan dari bencana yang berasal dari laut seperti tsunami dan badai tropis. Karakteristik pesisir Aceh yang rawan gempa dan tsunami sudah seharusnya dielaborasi dalam kebijakan tata ruang pesisir dengan memberikan ruang khusus untuk penyangga (buffer zone). Kebijakan coastal setback ini bertujuan untuk menjauhkan masyarakat dari limpasan langsung gelombang besar maupun angin badai. Kawasan penyangga ini bisa diperuntukkan sebagai kawasan mangrove, hutan produksi atau hutan pantai lainnya sehingga akan mempunyai nilai ekologi dan ekonomi yang penting bagi kesehatan ekosistem pesisir dan berbagai mata pencaharian masyarakat.
Konsep tata ruang yang terdapat di dalam blue print rehabilitasi dan rekonstruksi Aceh sudah memasukkan konsep coastal setback. Tata ruang tersebut sebenarnya adalah tata ruang ideal dan seharusnya dilaksanakan di kawasan pesisir Aceh. Namun tentunya tidak semua yang ideal itu bisa diterapkan. Penetapan buffer zone mempunyai konsekuensi bahwa ruang tersebut harus bebas dari kegiatan konstruksi. Padahal banyak daerah yang akan dijadikan ruang penyangga merupakan kawasan pemukiman sebelum tsunami. Selain itu, keinginan sebagian korban untuk kembali ke rumahnya seperti sediakala. Pemerintah juga kesulitan untuk merelokasi penghuni pesisir korban tsunami ke tempat yang lebih aman karena alasan ketersediaan lahan dan dana. Kondisi ini memunculkan ide penataan desa yang menempatkan mitigasi tsunami sebagai pertimbangan. Village planning atau perencanaan desa menghasilkan sebuah tata desa sedemikian rupa sehingga apabila terjadi tsunami warga desa dapat menyelamatkan dirinya melalui jalan-jalan (escape route) yang mempermudah mencapai sebuah tempat yang aman (escape hill). Perencanaan desa ini mensyaratkan partisipasi aktif dari warga setempat. Terkadang warga harus mengorbankan sebagian tanahnya untuk membuat fasilitas umum seperti jalan dan drainase. Perencanaan desa yang menata sistem drainase, air bersih, penghijauan dan pengolahan sampah/limbah guna peningkatan kualitas hidup dan lingkungan desa mempunyai efek positif bagi kesehatan lingkungan pesisir karena pemukiman –sebagai salah satu sumber pencemaran perairan pesisir- akan lebih sedikit memberikan stress berupa polusi ke perairan pesisir.
Kiranya ke depan perlu dibuat sebuah peraturan daerah tentang tata ruang pesisir yang memasukkan prinsip coastal setback dalam pembangunan baru di wilayah pesisir. Sebagai contoh, Perancis mempunyai sebuah undang-undang pesisir -la loi littoral- yang melarang pembangunan dalam jarak 100 m dari bibir pantai kecuali bagi bangunan yang sudah ada sebelumnya atau untuk keperluan ilmu pengetahuan, industri pelabuhan dan militer . Pelarangan ini terkait dengan usaha reduksi tekanan terhadap lingkungan pesisir dari kegiatan manusia dan juga melindungi kegiatan manusia dari limpasan gelombang (storm surge) pada saat terjadi badai (tempête). Coastal setback atau penyangga juga diterapkan di beberapa negara lainnya seperti Amerika Serikat dan negara-negara di Kepulauan Karibia. Disamping itu, penetapan beberapa kawasan konservasi pantai dan laut (Marine and Coastal Protected Areas) juga perlu dilakukan untuk meningkatkan kapasitas pesisir untuk perlindungan pantai dan mendukung kerberlanjutan perikanan.
Selain kebijakan tata ruang, kesiapan warga dan informasi yang diterima warga pesisir tentang bencana tsunami memainkan peran paling besar dalam mereduksi korban jiwa. Karena itu, sistem pendeteksian dini (early warning system) yang telah di set-up di Banda Aceh perlu dikembangkan lagi, misalnya peringatan tersebut dapat langsung diterima dari setiap telepon genggam (HP) warga dengan waktu cepat sehingga warga masih mempunyai waktu sebelum tsunami mencapai pantai.
Pengembangan ekonomi di kawasan pesisir tidak dapat dilepaskan dari pemulihan lingkungan. Sejak dulu lingkungan pesisir telah menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat seperti nelayan dan petambak. Lingkungan pesisir Aceh yang rusak akibat tsunami harus dipulihkan. Selain kegiatan restorasi dan rehabilitasi mangrove dan terumbu karang, kegiatan-kegiatan yang memberikan tekanan (stress) bagi kedua ekosistem tersebut harus dihentikan sehingga laju pemulihannya lebih cepat. Pembangunan infrastruktur yang menghambat suplai air tawar ke kawasan penanaman kembali mangrove atau penebangan hutan yang meningkatkan sedimentasi di perairan pesisir harus dihentikan.
Perlu dicamkan bahwa pemulihan lingkungan atau terciptanya lingkungan pesisir yang sehat bukanlah tujuan akhir dari sebuah pengelolaan kawasan pesisir. Lingkungan merupakan sarana menuju tujuan akhir, yaitu kesejahteraan masyarakat pesisir. Seringkali kemiskinan dan ketidaktahuan menjadi penyebab utama dari degradasi lingkungan. Diseminasi pengetahuan tentang nilai lingkungan dan dukungan finansial, manajemen serta pemasaran berbentuk koperasi usaha masyarakat yang bergerak di bidang penangkapan ikan karang hidup bernilai ekonomi tinggi atau peternakan lebah madu dan budidaya kepiting bakau tampaknya lebih menarik bagi masyarakat pesisir ketimbang meledakkan terumbu karang di Pulau Banyak dan menebang hutan bakau di Aceh Tamiang.
Pengembangan ekonomi dengan mengabaikan daya dukung lingkungan pesisir akan menyebabkan rapuhnya keberlanjutan kesejahteraan (sustainable livelihood) masyarakat pesisir. Pemberian bantuan boat nelayan yang berlebihan dapat membahayakan keberlangsungan profesi nelayan itu sendiri. Daya dukung mangrove di Aceh mencapai titik nadir akan menurunkan ketersediaan ikan di perairan pantai, terutama ketersediaan ikan yang bergantung langsung dengan mangrove. Untuk menghindari hal yang tersebut, perlu adanya pengurangan tekanan yang bersifat eksploitatif. Misalnya pembangunan armada boat kecil dikurangi dan lebih berfokus pada pembangunan boat besar untuk menangkap ikan migrasi besar di laut lepas yang tidak terlalu tergantung terhadap ekosistem mangrove, tuna misalnya. Di sisi angkatan kerja, konversi pekerjaan juga dapat dilakukan untuk mengurangi tekanan tersebut. Industri perikanan dapat menampung tenaga kerja yang dulunya berprofesi sebagai nelayan sehingga tekanan terhadap ketersediaan ikan berkurang. Industri perikanan juga memberikan nilai tambah pada produk perikanan dan penyerapan tenaga kerja yang lebih besar.
Saat ini, pembangunan kawasan pesisir di Nanggroe Aceh Darussalam merupakan salah satu kegiatan utama rehabilitasi dan rekonstruksi. Berbagai aktor turut serta dalam proses ini. Dalam pengelolaan pembangunan ini, mutlak diperlukan komunikasi intensif antara stakeholder pesisir Aceh. Pelibatan masyarakat dan ilmuwan sangat penting guna mewujudkan pembangunan pesisir berkelanjutan, berbasis pada daya dukung lingkungan. Pemda, BRR dan NGO sebagai aktor utama pembangunan kembali pesisir harus mempunyai koordinasi padu sehingga tercipta visi yang sama tentang kemana arah pembangunan pesisir Aceh. Ketika visi tersebut diterjemahkan ke dalam program dan kegiatan tidak akan terjadi tumpang tindih melainkan program dan kegiatan tersebut berjalan seiring dan saling melengkapi. Kita mempunyai potensi untuk membangun pesisir Aceh lebih baik. Komitmen pemerintah dan dunia internasional berupa dana rekonstruksi dan rehabilitasi Aceh melebihi dari kerugian yang diderita. Namun dana besar saja belum cukup. Diperlukan keseriusan, kejujuran dan profesionalisme dalam mengangkat potensi diatas menjadi realitas. Kalau bukan kita, siapa lagi. Kalau bukan sekarang, kapan lagi
Kesimpulan
Pesisir sebagai suatu kawasan peralihan daratan dan lautan merupakan tempat wilayah yang sangat berperan penting bagi semua aspek kehidupan biota laut maupun manusianya sendiri, sehingga perlu adanya pengelolaan yang terencana guna menjaga agar tatanan yang ada disekitar kawasan tersebut terbebas dari hal yang tidak diinginkan seperti rob, pencemaran, ersosi, pembalakan hutan mangrove, dan lain sebagainya.
Kompleksitas kawasan pesisir tentunya membutuhkan sebuah pengelolaan yang terpadu. Pengelolaan yang menata berbagai kegiatan yang berlangsung di kawasan tepi laut ini, sehingga dunia internasionalpun mencanagkan beberapa konsep pembangunan terpadu untuk wilayah pesisir danlaut salah satunya adalah Manajemen Kawasan Pesisir secara terpadu atau Integrated Coastal Zone Management atau yang dikenal dengan konsep pembangunan berkelanjutan di kawasan pesisir pantai.
DAFTAR PUSTAKA
Anonimus. 2005. Rencana Induk Rehabilitasi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi NAD dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara.
Dahuri, Rochmin. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni 2000, Banda Aceh.
Djuned, T. 1995. Pengelolaan Lingkungan Laut Oleh Panglima Laot (Suatu Studi Di Kotamadya Banda Aceh), Laporan Penelitian. Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh.
Halim, Abdul,. 2003 Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, disampaikan dalam Rokornis Bapedalda Se-Provinsi NAD, Banda Aceh.
Hurgronje, Snouck, Aceh Di Mata Kolonialis, Yayasan Soko Guru, Jakarta, 1985.
http://kaifamart.multiply.com/journal
Post a Comment for "Pengelolaan laut dan pesisir"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.