ADAB MENASEHATI (bagian 3 habis)
Menasehati di depan Forum (Terang-terangan)
Untuk menjaga perasaan hendaklah
menasehati dengan cara rahasia, tapi adakalanya juga menasehati orang lain bisa
dilakukan dihadapan orang banyak. Salah seorang khatib dan imam masjid di kota Al-Khubar,
Saudi Arabia dalam salah satu khutbah Jum'atnya mengatakan:
"Ummat Islam, mereka itu
memiliki kehormatan dan harga diri, oleh karena itu haruslah kita menjaga
hak-hak dan kehormatan mereka, haruslah kita memelihara perasaan mereka, tetapi
kadang-kadang sesuatu nasehat yang akan engkau sampaikan kepada orang lain
apabila engkau tunda, maka akan terlambat, maka harus sekarang juga engkau
menasehatinya sebelum terlambat. Contohnya, sebagaimana terdapat dalam Shahih
Muslim (Juz 6 hal. 142-143 no. 58 (875), dari Jabir radhiallahu 'anhu bahwasanya ia
berkata: Sulaik Al Ghathafani datang (ke masjid) hari Jum'at dan Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam sedang duduk di atas mimbar maka Sulaik langsung
duduk tanpa shalat terlebih dahulu, maka Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
bertanya kepadanya. "Apakah engkau telah melaksanakan shalat dua
rakaat?" Ia berkata, "Belum," maka beliau memerintahkan
kepadanya, "Bangunlah dan shalatlah dua rakaat!"
Ini bukanlah sedang memburuk-burukkan
atau menyiarkan kesalahan orang tersebut, karena saat itu adalah waktu yang
tepat untuk menasehatinya, apabila dibiarkan, maka akan terlewatkan, karena
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam memerintahkan setiap muslim yang masuk
ke dalam masjid agar shalat dua rakaat terlebih dahulu sebelum ia duduk.
Perintah tersebut mengharuskan untuk
dilaksanakan pada saat itu juga tidak bisa ditunda sampai selesai shalat
Jum'at. Akan tetapi apabila memungkinkan bagimu untuk menunda nasehat sampai
selesainya majelis, lalu engkau menasehati seseorang di hadapan orang lain di
majelis tersebut, maka hal itu tidak benar."
Pernah terjadi di masa Rasulullah
shalallahu 'alaihi wasallam seorang yang makan menggunakan tangan kirinya, maka
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam menegurnya, "Makanlah dengan tangan
kananmu!" Orang tersebut menjawab, "Saya tidak dapat," maka
beliau mendo'akan keburukan untuknya dengan mengatakan, "Semoga engkau
tidak dapat,"
maka langsung saja tangan orang
tersebut lumpuh sehingga tidak dapat memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Orang
tersebut tidak mau mentaati perintah Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam
karena sombong. (lihat kisah ini dalam Shahih Muslim no. 2021)
Syaikh Salim Al-Hilali mengatakan
tentang fiqh hadits di atas, di antaranya: "Boleh menasehati seseorang di
hadapan orang banyak apabila di dalamnya terdapat kebaikan bagi semuanya."
(Bahjatun Naadzirin, juz I hal. 240)
Apabila terhadap teman, kita harus
memiliki adab yang baik dalam menegur kesalahannya, maka lebih-lebih lagi
apabila kita hendak menegur kesalahan seorang guru. Syaikh Abdurrahman bin
Nashir As Sa'di rahimahullah berkata : "Apabila seorang penuntut ilmu
mendapatkan gurunya berbuat kesalahan maka janganlah menyebutkan kesalahan
tersebut dengan terus terang, tetapi betulkanlah kesalahan dia dengan cara
bertanya dan bersikap sebagai seorang siswa terhadap gurunya, dan berbuat
demikianlah dengan cara berulang-ulang sampai terang bagi sang guru mana yang
benar, karena kebanyakan manusia apabila engkau tegur secara lansung
kesalahannya, kecil sekali kemungkinannya untuk rujuk, berat bagi dia untuk
mengakui kesalahannya, kecuali orang yang dapat menguasai dirinya dan
menghiasinya dengan akhlak yang terpuji, maka dia tidak tersinggung apabila
pendapat dia dikritik, dan kesalahannya ditegur secara langsung, dan tipe orang
seperti ini jarang sekali, hanya dengan taufiq Allah-lah kemudian dengan
melatih jiwa untuk menekan gengsi, barulah orang tersebut akan mempunyai jiwa
besar dengan mengakui kesalahannya dan rujuk kepada kebenaran." (Al Mu'in
'ala Tahshili Aadaabil 'Ilmi wa Akhlaakil Muta'allimiin, hal. 33-34)
Dalam halaman lain, beliau berkata: Apabila
sang guru berbuat kesalahan dalam suatu hal, maka hendaklah seorang penuntut
ilmu menegurnya dengan penuh lemah lembut sambil memperhatikan situasi dan
kondisi, janganlah mengatakan kepadanya, "Engkau telah berbuat
salah!" atau "Sesungguhnya yang benar bukan seperti yang engkau
katakan!", tetapi hendaklah menegurnya dengan kata-kata yang sopan,
menjadikan seorang guru sadar akan kesalahannya tanpa ada rasa gusar di
hatinya, karena cara seperti ini merupakan keharusan dalam bersikap terhadap
seorang guru, juga cara seperti ini lebih mengena untuk sampai kepada
kebenaran, karena sesungguhnya kritikan yang disertai dengan adab yang buruk
membuat hati orang yang dikritik menjadi gusar sehingga akan menghalanginya
untuk dapat menangkap pemahaman yang benar dan menghalanginya untuk mengetahui
maksud baik orang yang menegurnya."
Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-Utsaimin ditanya oleh seseorang : "Apakah yang harus saya lakukan
terhadap salah seorang guru ketika ia salah dalam pendapatnya, khususnya dalam
mata pelajaran dien Al Islam dan saya tahu dengan pasti jawaban yang
benar?" Maka Syaikh menjawab: "Ini pertanyaan yang penting di mana
kita dapatkan bahwa sebagian dari para guru tidak mau dikoreksi oleh siapa pun,
meskipun ia berbuat kesalahan yang banyak. Sikap yang demikian tidaklah benar,
karena setiap manusia tidak lepas dari kesalahan, dan manusia apabila berbuat
kesalahan lalu ditegur, maka itu merupakan nikmat Allah yang Ia berikan
kepadanya, supaya manusia tidak tertipu disebabkan kesalahannya. Akan tetapi
bagi siswa haruslah mempunyai kecerdikan, janganlah menegurnya di hadapan
siswa-siswa yang lain, karena hal ini menyalahi adab, tetapi tundalah sampai selesai
pelajaran (secara empat mata), apabila sang guru tadi menerimanya, maka ia
harus menyampaikan ralatnya di hadapan para siswa pada pelajaran berikutnya, dan
apabila tidak menerimanya, maka si siswa harus menyampaikan koreksiannya di
hadapan siswa-siswa yang lain pada pelajaran berikutnya, sambil mengatakan
misalnya bahwa ustadz pernah menyampaikan begini dan begitu, dan ini adalah
tidak benar." (Kitabul 'Ilmi, hal. 160-161)
Sebagian orang –semoga Allah memberi
mereka petunjuk- mengira bahwa nasehat yang disampaikan kepada mereka adalah
bentuk kelancangan dan kekurangajaran. Terlepas dari keras atau lembut cara
menasehatinya, maka tidak selayaknya seorang yang munshif (bersikap adil dan
objektif) mencampakkan kebenaran gara-gara kebenaran tersebut datang dengan
cara yang tidak berkenan atau kurang pas dalam pandangannya. Ya, itu sah-sah
saja seorang menilai bahwa cara orang lain dalam menasihatinya tidak pas atau
tidak beradab. Namun, bukan itu yang kita bicarakan! Yang kita maksud adalah
kesadaran hati pada diri orang yang mendapatkan teguran agar kembali kepada
Allah, dan menyadari kekeliruannya –jika itu sebuah kekeliruan- tanpa menyimpan
dendam. Bukankah Allah memerintahkan kita untuk memberikan maaf dan berlapang
dada dalam menyikapi kekurangan saudara kita? Bukankah kita pun senang jika
kita diperlakukan demikian? Maka alangkah tidak bijaknya kita ketika kita
menyadari bahwa hujjah-hujjah yang kita miliki ternyata tidak cukup kuat untuk
mempertahankan sikap kita yang keliru atau kurang bijak, kemudian dalam kondisi
seperti itu pun kita masih menuntut orang lain secara berlebihan untuk bersikap
bijak dan sopan dalam menegur kita. Sementara kita dengan begitu leluasa
memuntahkan sejuta alasan untuk menjatuhkan orang yang berbeda pendapat dengan
kita. Di sisi lain kita tidak memberikan kesempatan baginya untuk melontarkan
kritik kepada kita.
Allahu ‘alam bishowab
Post a Comment for "ADAB MENASEHATI (bagian 3 habis)"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.