Kalau Mau yang Nyaman, Bukan Namanya tarbiyah


Hidup itu tidak statis tapi dinamis. Ada hal yang mempengaruhi pergerakan (kehidupan) kita. Salah satunya adalah berbagai urusan yang diamanahkan kepada kita atau masalah-masalah (tantangan) yang dihadapkan kepada kita untuk diselesaikan, sebagai bagian dari proses menjalani kehidupan. Jika kita tidak mau bermasalah maka mati saja. Memang benar, setelah meninggal kita sudah tidak punya masalah di dunia. Permsalahan kita yang ada didunia biasanya akan diwariskan kepada keluarga kita baik secara langsung atau tidak langsung. Tapi permasalahan akhirat menghadang kita, apakah kita mendapat nikmat kubur atau siksa kubur. Memang nikmat kubur adalah nikmat yang diharapkan setiap orang di alam barzah, dan syurga adalah cita-cita semua umat. Tapi siapa jamin setelah kita meninggal dunia, kita mendapat nikmat kubur atau bahkan syurga?
Kita bisa menjadi dewasa karena kita bergerak (dinamis). Karena pergerakan itu yang menjadikan kita bertemu dengan segala urusan (tantangan) dari berbagai sisinya. Urusan yang akan kita selesaikan itu banyak, sehingga dianjurkan fokus pada permasalahan agar bisa diselesaikan dengan maksimal. Setelah itu baru kita beralih pada permasalahan selanjutnya.
Allah berfirman “Maka apabila telah menyelesaikan suatu urusan, kerjakanlah urusan yang lain, dan kepada Tuhanmu gemar dan berharaplah!” ( Al-Insyiroh ayat 7-8 ).
Penyelesaian masalah merupakan salah satu tahap pendewasaan hidup dan sarana menambah kapasitas diri kita dalam menjalani kehidupan. Kalau tantangan hari ini belum bisa kita selesaikan, maka akan sangat kewalahan kita menghadapi tantangan hari esok. Karena sejatinya tantangan yang akan kita hadapi di hari esok levelnya sudah meningkat dari tantangan hari ini. So, hadapi dan jangan lari.
Begitu juga dengan tarbiyah, dalam aktifitas tarbiyah akan ada dinamika didalamnya. Mulai dari rekomposisi pergantian murabbi, pergantian teman satu liqoat. Serta gonjang ganjing yang menimpa jamaah ini. Perbedaan geografispun kadang bisa menimbulkan dinamika dalam aktifitas tarbiyah (halaqoh) serta dinamika yang lainnya.
Dengan dinamika yang ada kadang ikhwah kurang nyaman lagi dalam menjalai aktifitas tarbawinya. Alasannya banyak, bisa jadi diantaranya adalah sebagai berikut ;
1.      Merasa mendapat teman liqo yang kurang pas
Hubungan emosional yang sudah terbangun dengan teman-teman liqoatnya yang dulu sangat wajar jika merasa kehilangan dan harus menyesuaikan ulang dengan karakteristik teman-teman liqoatny yang baru. Sebenarnya permasalahan ini sudah clear kalau kita sudah menerapkan rukun halaqoh dalam aktifitas tarbawi kita. Bagaimana kita dituntut lebih mengenal (ta’aruf), lebih memahami (tafahum), lebih saling menolong (ta’awun) dan saling menanggung beban (takaful). Jika kita sudah bersedia memasuki jamaah ini maka kita diminta untuk menerapkan rukun ini. Tidak mudah memang, tapi harus dicoba-dan terus dicoba. Minimal coba membuka materi rukun halaqoh kembali. Sehingga tidak ada alasan lagi kalau kita merasa tidak cocok dengannya karena tidak gaul, merasa lebih muda, merasa lebih tua, pasif (pendiam), atau apapun yang kita sangkakan pada teman-teman kita. Disini kita dituntut untuk menyelami emosi mereka. Sekali lagi tidak mudah memang, tapi minimal kita tidak menampakkan ketidaksenangan dengan mereka. Kalau sudah akut maka kita selesaikan secara kekeluargaan, tidak menghindar dari persoalan dan endingnya kita memilih tidak mau berangkat halaqoh alias keluar.
Ada juga masalah yang timbul karena ditempatkan dengan orang yang tidak selevel. Baik merasa level kita lebih tinggi dari mereka atau kita merasa yang jauh dibawah mereka. Jangan menyalahkan kadaerisasi dalam hal ini. Mereka insyaAllah sudah mempertimbangkan segala macamnya. Sekedar menanyakan alasan tidak dilarang. Tapi kader yang baik insyaAllah sami’na wa atho’na. Toh kita yakin mereka tidak akan menjerumuskan kita. Tujuan mereka juga bukan untuk mengurangi jumlah kita, tapi manambah dan mensolidkan. Mereka punya sudut pandang yang lain yang sudah dimusyawarahkan. Meskipun kita tidak ikut musyawarah. Kalau semua kader diajak musyawarah bisa jadi prosesnya akan panjang, tidak efektif dan tidak efisien.. Jamaah sudah menunjuknya sebagai orang yang mempunyai tangungjawab untuk mereshuffle kelompok kita. Kalau kita percaya jamaah ini sudah sepantasnya kita percaya padanya. Jangan ada istilah nggremeng atau ngomong dibelakang. Ingat!!! alqiyadah wal jundiyah.
2.      Merasa mendapat Murabbi yang kurang pas sesuai keinginan.
Semua menginginkan Murabbi ideal tapi stok murabbi ideal itu terbatas. Kita menginginkan murabbi dengan kriteria ini, itu dan sebagaiya. Kadang tidak dilihat SDM yang ada seperti apa. Kalau ingin menjadi murabbi ideal, cobalah dulu menjadi Mutarabbi ideal. Sudahkah kita lakukan itu? Sehingga kita tidak banyak menuntut hak.
Tidak kita pungkiri, bahwa banyaknya kader tarbiyah diberbagai daerah adalah hasil “suntikan” dari berbagai kampus di Indonesia. Makannya kalau mau pindah domisili, minta surat mutasi sama Murabbi. Pada masa-masa awal, Sekolah Tinggi Akuntansi Negara (STAN) yang banyak memasok stok kader diberbagai daerah. Sekarang mungkin bisa jadi bergeser ke Perguruan Tingggi Negeri lainnya. Terutama Perguruan tinggi ternama yang masuk kategori Dakwah kampus tahap dua dan tiga yang mempunyai LDK yang solid (Kriteria LDK Mapan. Sehingga kalau mau nyari Murabbi bergelar Lc harus ngantri. Yakin saja ada rencana Allah yang lebih indah ketika kita mendapatkan murabbi baru tersebut. Sekali lagi ini proses belajar. Minimal belajar menerima hasil keputusan. Ingat, jadi Mutarabbi ideal dulu sebelum menuntut murabbi ideal. Kalau kita tidak bisa mendapatkan ilmu yang diharapkan dari murabbi yang baru kan bisa mencari ilmu diluar halaqoh. Banyak sarananya, ada tasqif, penugasan dll. Sudahkan itu kita jalankan dengan maksimal?
3.      Mendapat Murabbi baru yang sering berinteraksi (dekat) denganya
Ini biasanya terjadi di kampus. Biasanya yang membuat tidak nyaman karena satu kontrakan atau satu angkatan, atau karena terlalu sering berinteraksi dengannya sehingga mutarabbi sudah tahu “belang” Murabbi bahkan sebaliknya. Meski kita tahu tidak ada manusia yg luput dari kesalahan. Bisa jadi dari masalah sepele yang dibesar-besarkan sendiri hanya ingin mencari alasan agar tidak mendapatkan murabbi seperti itu.
Sudah tidak asing di khalayak ramai, perkataan seseorang kadang tidak lagi diperdengarkan meskipun perkataannya sangat baik dan benar hanya karena belang masa lalunya. Cobalah berusaha memaafkan dan hidup berdampingan secara emosional dengan harmonis. Umar bin Khatab juga mempunyai belang masa lalu, tapi Allah, Rasul dan rakyatnya tidak mengungkit-ungkit masalahnya.
Jika yang dipermasalahkan karena terlalu dekat. Bukankah halaqoh memang dibuat sistemnya agar kita semakin dekat dengan semua orang? Memang masalah psikologi dan “chemistry” calon murabbi dan Mutarabbi menjadi pertimbangan dalam pengelompokan. Tapi kalau sudah ditetapkan demikian insyaAllah ada alasan yang lebih kuat dan maslahat jika kita dipasangkan dengannya.
Ada hikmah dibalik itu semua. Salah satunya kita dituntut untuk belajar ilmu baru, ilmu bagaimana bisa menerima orang lain yang bukan seperti kita harapakan. Karena sejatinya mereka juga saudara kita. Bukan namanya tarbiyah kalau kita cuma nyaman-nyaman saja. Kalau kata Murabbi saya dulu “justeru dengan tarbiyah kita dituntut merasakan hal yang kurang nyaman. Kadang seorang murabbi mencari-cari apa yang Mutarabbi tidak sukai. Setelah itu sang Mutarabbi mendapatkan tugas untuk berinteraksi dengan apa yang tidak ia sukai. Kita menginginkan Mutarabbi multitalenta, tidak terjebak dengan trauma persepsi yang menimbulkan seseorang itu merasa tidak bisa sehingga kapasitas dirinya menjadi tumbuh dan berkembang seperti arti kata tarbiyah itu sendiri. Penugasan yang diberikan oleh sang murabbi bisa jadi akan dibenturkan dengan kondisi fisik, maknawi/ ruhy, finansial, kapasista kepemimpinan dan lain sebagainya. Baru disuruh dan di tugasi ini itu sudah ngambek, cemen nanyanya. Apa sepeti itu yang diinginkan dari tarbiyah?”
Tarbiyah ini menumbuhkan kita dan mengembangkan kita dengan dinamika yang ada, Tarbiyah bisa dikatakan berhasil manakala kita bisa menyesuaikan dengan dinamika yang ada tapi tetap dalam koridor syar’i. Dengan dinamika yang ada justeru kita akan mendapatkan ilmu yang lebih banyak dari berbagai sisinya.
Allahu’alam bishowab.

Post a Comment for "Kalau Mau yang Nyaman, Bukan Namanya tarbiyah"