Pengelolaan Pesisir dan Laut
Latar Belakang
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistim darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam. Kekayaan ini melahirkan minat berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memanfaatkannya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dari stakaeholder terutama instansi sektoral.
Guna mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih perencanaan, konflik pengelolaan dan degradasi biofisik untuk kepentingan pengelolaan yang meliputi : Pengelolaan Sumber Daya Alam,Tata Ruang, Administrasi dan Bantuan Penegakan Hukum, Bantuan Penegakan Kedaulatan Negara maka perlu adanya pedman penerapan pengelolaa suau kawasa tertentu, baik yang tertuang dam renstra tetentu ataupun keputusan – keputusan yang dibuat oleh para pejabat baik dari tingkat Kota/ Kabupauten sampai tingka Pusat (Nasional).
Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dimana sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian s umber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system).
Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Penerapan prinsipprinsip Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sector dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan jangka menengah (2004-2009).
Permasalahan Penglelolaan Sumberdaya Pesisir
Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan Pesisir sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:
1. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak.
Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara dan timur Provinsi NAD. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat.
Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatankegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran dibeberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.
2. Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki potensi sumberdaya kelautan yang besar dengan panjang garis pantai + 1.660 km dan luas wilayah perairan + 295.370 km 2 terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km 2 dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 238.807 km 2. Potensi sumberdaya ikannya sebesar + 423.410 ton terdiri dari perairan territorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton, dengan potensi lestari (MSY) sebesar 272.707 ton dan tingkat pemanfaatan (2004) sebesar 102.555 ton atau 37,60 persen. Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat potensi pengembangan sebesar 62,40 persen atau sebesar 170.152 ton.
3. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak.
Terjadinya illegal fishing unregulated fishing dan unreported fishing (IUU) di perairan Aceh dan ZEE di sekitar perairan Aceh masih terus terjadi, baik dilakukan oleh kapalkapal dalam negeri maupun oleh kapal asing. Hal ini terjadi karena masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan.
Kondisi ini bila tidak dikendalikan akan merugikan daerah, antara lain berupa:
1. Mengurangi pendapatan daerah dan menurunnya ekspor hasil perikanan.
2. Mengurangi daya serap tenaga lokal
3. Jumlah sumberdaya ikan yang dimanfaatkan akibat illegal fishing, unregulated
4. fishing dan unreported fishing tidak dapat diketahui.
5. Dapat menganggu kegiatan nelayan lokal.
4. Pemanfaatan dan Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 119 pulau, namun menurut data dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan bahwa di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 180 buah pulau. Data tersebut diatas menunjukan bahwa ada perbedaan jumlah pulau yang cukup besar yaitu sebanyak 61 buah pulau. Agar pulau-pulau kecil yang ada di perairan Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikelola dan dimanfaatkan secara arif dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan identifikasi dan inventarisasi data pulau-pulau yang ada secara menyeluruh baik yang ada penghuni maupun tidak, termasuk pemberian nama bagi pulau-pulau yang belum ada nama.
Karena pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan alam disebabkan daya dukung lingkungannya yang sangat terbatas, maka pemanfaatan dan pengelolaan pulau-pulau kecil harus berbasis masyarakat dan daya dukung lingkungan. Sehingga pemanfaatannya daya terkendali dan lestari serta berkelanjutan.
5. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan.
Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kondisi ini, dari satu sisi, menggambarkan begitu rentannya wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan system kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam tersebut akan mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang telah dibangun; seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam jangka menengah ini, pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara lain melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu mengurangi dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan “kawasan rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara baik, dan rencana tata ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi, serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan terumbu karang) di wilayah pesisir.
6. Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan.
Hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus dilalui.
7. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis.
Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan pencemaran akibat limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan. Untuk limbah padat, hal ini membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di badanbadan air akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga memerlukan upaya pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sektor terkait. Semakin tingginya intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya kualitas udara, terutama di perkotaan. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan pengendalian gas buang (emisi), baik industri maupun transportasi diperlukan sebagai upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius.
8. Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan.
Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan daerah, maka upaya pendanaan alternative harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax.
Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan daerah sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain itu, perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber pendapatan daerah dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan pendanaan melalui lembaga keuangan maupun lembaga independen lainnya.
9. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup.
Hukum lingkungan atau peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup masih kurang bersinergi dengan peraturan perundangan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan baik peraturan perundangan yang ada baik di tingkat nasional maupun peraturan perundangan daerah. Untuk memberikan penguatan sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.
10. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.
Sasaran Pengelolaan Kawasan Pesisir
Utuk menaggulangi dan meredam meluasnya permasalahan diatas, pemerintah NAD dalam hal in ingin melakukan pembangunan di bidang kelautan dimana sasarannya adalah :
(1) Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya pesisir dan laut;
(2) Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis masyarakat;
(3) Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut;
(4) Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efisien dan berkelanjutan;
(5) Meningkatnya luas kawasan konservasi laut dan meningkatnya jenis/genetik biota laut langka dan terancan punah;
(6) Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah;
(7) Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
(8) Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga kebersihan, kesehatan, dan produktivitasnya; serta
(9) Meningkatnya upaya mitigasi bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Arah kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir
Pembangunan serta pengelolaan kawasan pesisir diarahkan untuk:
1. Mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara lestari berbasis masyarakat;
2. Membangun sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya perikanan melalui penegakan hukum;
3. Meningkatkan upaya konservasi dan merehabilitasi ekosistem yang rusak;
4. Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan wilayah pesisir, laut, dan perairan tawar;
5. Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan perundangan;
6. Meningkatkan riset dan pengembangan teknologi kelautan;
7. Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan bekerja, dan meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
8. Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Program dan Pengelolaan Kawasan Pesisir
Program ini bertujuan untuk mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal, adil, dan lestari melalui keterpaduan antar berbagai pemanfaatan sehingga memberikan kontribusi yang layak bagi pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kegiatan pokok yang tercakup, antara lain:
Perumusan kebijakan dan penyusunan peraturan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara terintegrasi;
1. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara efisien, dan lestari berbasis masyarakat;
2. Pengembangan sistem MCS (monitoring, controlling, and surveillance) dalam pengendalian dan pengawasan, termasuk pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengawasan;
3. Penataan ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
4. Pelaksanaan riset dan pengembangan teknologi kelautan, serta riset sumber daya non hayati lainnya;
5. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria;
6. Peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta melalui kemitraan dalam
7. pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
8. Penataan dan peningkatan kelembagaan, termasuk lembaga masyarakat di tingkat lokal;
9. Penegakan hukum terhadap pelanggar dan pelaku tindak pidana perikanan;
10. Peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut, dan prakiraan iklim laut;
11. Pengembangan wawasan kelautan, terutama bagi generasi muda dan anak -anak sekolah.
Kesimpulan
Wilayah Pesisir dan laut merupaka wilayah yang potensial dalam kehidupan masyarakat sekitanya, karena sebagian besar mata pancaharian masyarakat bertumpu pada sumberdaya di kawasan tersebut, sehingga prlu adanya pengelolaan yang terpadu dan terencana guna meningkatkan kualitas dan mempertahankan kelangsungan sumberdaya di sekitar wilayah pesisir dan laut.
Dalam UUD 1945 yang menjadi pedoman dasar bangsa Indonesiapun tertulis bahwa semberdaya alam hendaknya untuk dinikamati bersama dengan rasa kesadaran dan tanggunjawab, untuk itu berbagai pihak baik negeri (pemerintah) ataupun suwasta (LSM) berupaya untuk menjadikan kawasan pesisir dan laut menjadi kawasan yang terkelola dengan baik seperti kawasan- kawasan yang lainnya dengan dibuat peraturan- pearturan tertentu mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, Rochmin. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni 2000, Banda Aceh.
Djuned, T. 1995. Pengelolaan Lingkungan Laut Oleh Panglima Laot (Suatu Studi Di Kotamadya Banda Aceh), Laporan Penelitian. Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh.
Halim, Abdul,. 2003 Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, disampaikan dalam Rokornis Bapedalda Se-Provinsi
http://acehrecoveryforum.org/library/download.php?file=Bab%2032%20PERBAIKAN%20PENGELOLAAN%20SUMBER%20DAYA%20ALAM%20DAN%20PELESTARIAN%20FUNGSI%20LINGKUNGAN%20HIDUP.pdf
Wilayah pesisir merupakan wilayah peralihan (interface) antara ekosistim darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam. Kekayaan ini melahirkan minat berbagai pemangku kepentingan (stakeholder) untuk memanfaatkannya. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah mendorong upaya pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut dari stakaeholder terutama instansi sektoral.
Guna mengintegrasikan berbagai perencanaan sektoral, mengatasi tumpang tindih perencanaan, konflik pengelolaan dan degradasi biofisik untuk kepentingan pengelolaan yang meliputi : Pengelolaan Sumber Daya Alam,Tata Ruang, Administrasi dan Bantuan Penegakan Hukum, Bantuan Penegakan Kedaulatan Negara maka perlu adanya pedman penerapan pengelolaa suau kawasa tertentu, baik yang tertuang dam renstra tetentu ataupun keputusan – keputusan yang dibuat oleh para pejabat baik dari tingkat Kota/ Kabupauten sampai tingka Pusat (Nasional).
Seperti yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 1 dimana sumber daya alam dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat dengan tetap memperhatikan kelestarian fungsi lingkungan hidupnya. Dengan demikian s umber daya alam memiliki peran ganda, yaitu sebagai modal pertumbuhan ekonomi (resource based economy) dan sekaligus sebagai penopang sistem kehidupan (life support system).
Atas dasar fungsi ganda tersebut, sumber daya alam senantiasa harus dikelola secara seimbang untuk menjamin keberlanjutan pembangunan. Penerapan prinsipprinsip Pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) di seluruh sector dan wilayah menjadi prasyarat utama untuk diinternalisasikan ke dalam kebijakan dan peraturan perundangan, terutama dalam mendorong investasi pembangunan jangka menengah (2004-2009).
Permasalahan Penglelolaan Sumberdaya Pesisir
Berbagai permasalahan muncul dan memicu terjadinya kerusakan sumber daya alam dan lingkungan Pesisir sehingga dikhawatirkan akan berdampak besar bagi kehidupan makhluk di bumi, terutama manusia yang populasinya semakin besar. Beberapa permasalahan pokok dapat digambarkan berikut ini:
1. Habitat ekosistem pesisir dan laut semakin rusak.
Kerusakan habitat ekosistem di wilayah pesisir dan laut semakin meningkat, khususnya di wilayah padat kegiatan seperti pantai utara dan timur Provinsi NAD. Rusaknya habitat ekosistem pesisir seperti deforestasi hutan mangrove telah mengakibatkan erosi pantai dan berkurangnya keanekaragaman hayati (biodiversity). Erosi ini juga diperburuk oleh perencanaan tata ruang dan pengembangan wilayah yang kurang tepat.
Beberapa kegiatan yang diduga sebagai penyebab terjadinya erosi pantai, antara lain pengambilan pasir laut untuk reklamasi pantai, pembangunan hotel, dan kegiatankegiatan lain yang bertujuan untuk memanfaatkan pantai dan perairannya. Sementara itu, laju sedimentasi yang merusak perairan pesisir juga terus meningkat. Beberapa muara sungai mengalami pendangkalan yang cepat, akibat tingginya laju sedimentasi yang disebabkan oleh kegiatan di lahan atas yang tidak dilakukan dengan benar, bahkan mengabaikan asas konservasi tanah. Di samping itu, tingkat pencemaran dibeberapa kawasan pesisir dan laut juga berada pada kondisi yang sangat memprihatinkan.
Sumber utama pencemaran pesisir dan laut terutama berasal dari darat, yaitu kegiatan industri, rumah tangga, dan pertanian. Sumber pencemaran juga berasal dari berbagai kegiatan di laut, terutama dari kegiatan perhubungan laut dan kapal pengangkut minyak serta kegiatan pertambangan. Sementara praktik-praktik penangkapan ikan yang merusak dan ilegal (illegal fishing) serta penambangan terumbu karang masih terjadi dimana-mana yang memperparah kondisi habitat ekosistem pesisir dan laut.
2. Potensi kelautan belum didayagunakan secara optimal.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki potensi sumberdaya kelautan yang besar dengan panjang garis pantai + 1.660 km dan luas wilayah perairan + 295.370 km 2 terdiri dari laut wilayah (perairan teritorial dan perairan kepulauan) 56.563 km 2 dan Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) seluas 238.807 km 2. Potensi sumberdaya ikannya sebesar + 423.410 ton terdiri dari perairan territorial dan perairan kepulauan sebesar 220.090 ton dan ZEE sebesar 203.320 ton, dengan potensi lestari (MSY) sebesar 272.707 ton dan tingkat pemanfaatan (2004) sebesar 102.555 ton atau 37,60 persen. Hal ini menunjukan bahwa masih terdapat potensi pengembangan sebesar 62,40 persen atau sebesar 170.152 ton.
3. Merebaknya pencurian ikan dan pola penangkapan ikan yang merusak.
Terjadinya illegal fishing unregulated fishing dan unreported fishing (IUU) di perairan Aceh dan ZEE di sekitar perairan Aceh masih terus terjadi, baik dilakukan oleh kapalkapal dalam negeri maupun oleh kapal asing. Hal ini terjadi karena masih lemahnya pengawasan dan penegakan hukum terhadap tindak pidana perikanan.
Kondisi ini bila tidak dikendalikan akan merugikan daerah, antara lain berupa:
1. Mengurangi pendapatan daerah dan menurunnya ekspor hasil perikanan.
2. Mengurangi daya serap tenaga lokal
3. Jumlah sumberdaya ikan yang dimanfaatkan akibat illegal fishing, unregulated
4. fishing dan unreported fishing tidak dapat diketahui.
5. Dapat menganggu kegiatan nelayan lokal.
4. Pemanfaatan dan Pengelolaan pulau-pulau kecil belum optimal.
Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki 119 pulau, namun menurut data dari Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) Departemen Kelautan dan Perikanan bahwa di Nanggroe Aceh Darussalam terdapat 180 buah pulau. Data tersebut diatas menunjukan bahwa ada perbedaan jumlah pulau yang cukup besar yaitu sebanyak 61 buah pulau. Agar pulau-pulau kecil yang ada di perairan Nanggroe Aceh Darussalam dapat dikelola dan dimanfaatkan secara arif dan berkelanjutan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dilakukan identifikasi dan inventarisasi data pulau-pulau yang ada secara menyeluruh baik yang ada penghuni maupun tidak, termasuk pemberian nama bagi pulau-pulau yang belum ada nama.
Karena pulau-pulau kecil sangat rentan terhadap perubahan alam disebabkan daya dukung lingkungannya yang sangat terbatas, maka pemanfaatan dan pengelolaan pulau-pulau kecil harus berbasis masyarakat dan daya dukung lingkungan. Sehingga pemanfaatannya daya terkendali dan lestari serta berkelanjutan.
5. Sistem mitigasi bencana alam belum dikembangkan.
Secara geografis Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terletak di atas tiga lempeng aktif besar dunia yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Kondisi ini, dari satu sisi, menggambarkan begitu rentannya wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam terhadap bencana alam, seperti gempa bumi dan tsunami. Apabila tidak disikapi dengan pengembangan system kewaspadaan dini (early warning system) maka bencana alam tersebut akan mengancam kehidupan manusia, flora, fauna, dan infrastruktur prasarana publik yang telah dibangun; seperti yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Dalam jangka menengah ini, pengembangan kebijakan sistem mitigasi bencana alam menjadi sangat penting, yang antara lain melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mampu membantu mengurangi dampak negatif bencana tersebut. Disamping itu, dukungan pemahaman akan “kawasan rawan bencana geologi” (Geological Hazards Mapping) perlu dipetakan secara baik, dan rencana tata ruang yang disusun dengan memperhitungkan kawasan rawan bencana geologi dan lokasi kegiatan ekonomi, serta pola pembangunan kota disesuaikan dengan daya dukung lingkungan lokal. Upaya-upaya lain yang perlu dilakukan adalah pembangunan sabuk alami (hutan mangrove dan terumbu karang) di wilayah pesisir.
6. Ketidakpastian hukum di bidang pertambangan.
Hal ini terjadi akibat belum selesainya pembahasan RUU Pertambangan sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan. Selain itu, otonomi daerah juga menambah ketidakpastian berusaha karena banyaknya peraturan daerah yang menghambat iklim investasi, seperti retribusi, pembagian saham, serta peraturan lainnya yang memperpanjang rantai perijinan usaha pertambangan yang harus dilalui.
7. Tingginya tingkat pencemaran dan belum dilaksanakannya pengelolaan limbah secara terpadu dan sistematis.
Meningkatnya pendapatan dan perubahan gaya hidup masyarakat perkotaan berdampak pada peningkatan pencemaran akibat limbah padat, cair, maupun gas secara signifikan. Untuk limbah padat, hal ini membebani sistem pengelolaan sampah, khususnya tempat pembuangan akhir sampah (TPA). Selain itu, sampah juga belum diolah dan dikelola secara sistematis, hanya ditimbun begitu saja, sehingga mencemari tanah maupun air, menimbulkan genangan leacheate, dan mengancam kesehatan masyarakat. Penurunan kualitas air di badanbadan air akibat kegiatan rumah tangga, pertanian, dan industri juga memerlukan upaya pengelolaan limbah cair yang terpadu antar sektor terkait. Semakin tingginya intensitas kegiatan industri dan pergerakan penduduk menjadi pemicu memburuknya kualitas udara, terutama di perkotaan. Pengaturan mengenai sistem pengelolaan dan pengendalian gas buang (emisi), baik industri maupun transportasi diperlukan sebagai upaya peningkatan perbaikan kualitas udara. Selain itu, limbah B3 (bahan berbahaya dan beracun) yang berasal dari rumah sakit, industri, pertambangan, dan permukiman juga belum dikelola secara serius.
8. Alternatif pendanaan lingkungan belum dikembangkan.
Alokasi dana pemerintah untuk sektor lingkungan hidup sangat tidak memadai. Dari total alokasi dana pembangunan, sektor lingkungan hidup hanya menerima sekitar 1 persen setiap tahunnya. Dengan terbatasnya keuangan daerah, maka upaya pendanaan alternative harus diperjuangkan terus menerus sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Lingkungan Hidup, antara lain melalui skema DNS (debt for nature swap), CDM (Clean Development Mechanism), Trust Fund Mechanism, dan green tax.
Upaya ke arah itu masih tersendat karena sistem dan aturan keuangan daerah sangat kaku dan tidak fleksibel untuk mengantisipasi berbagai skema pembiayaan inovatif. Selain itu, perlu dikembangkan pula alternatif pendanaan dari sumber-sumber pendapatan daerah dengan mengembangkan berbagai mekanisme pengelolaan pendanaan melalui lembaga keuangan maupun lembaga independen lainnya.
9. Belum harmonisnya peraturan perundangan lingkungan hidup.
Hukum lingkungan atau peraturan perundangan di bidang lingkungan hidup masih kurang bersinergi dengan peraturan perundangan sektor lainnya. Banyak terjadi inkonsistensi, tumpang tindih dan bahkan saling bertentangan baik peraturan perundangan yang ada baik di tingkat nasional maupun peraturan perundangan daerah. Untuk memberikan penguatan sebagai upaya pengarusutamaan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan maka pengembangan hukum lingkungan perlu terus dilakukan.
10. Masih rendahnya kesadaran masyarakat dalam pemeliharaan lingkungan.
Masyarakat umumnya menganggap bahwa sumber daya alam akan tersedia selamanya dalam jumlah yang tidak terbatas, secara cuma-cuma. Air, udara, iklim, serta kekayaan alam lainnya dianggap sebagai anugerah Tuhan yang tidak akan pernah habis. Demikian pula pandangan bahwa lingkungan hidup akan selalu mampu memulihkan daya dukung dan kelestarian fungsinya sendiri. Pandangan demikian sangat menyesatkan, akibatnya masyarakat tidak termotivasi untuk ikut serta memelihara sumber daya alam dan lingkungan hidup di sekitarnya. Hal ini dipersulit dengan adanya berbagai masalah mendasar seperti kemiskinan, kebodohan, dan keserakahan.
Sasaran Pengelolaan Kawasan Pesisir
Utuk menaggulangi dan meredam meluasnya permasalahan diatas, pemerintah NAD dalam hal in ingin melakukan pembangunan di bidang kelautan dimana sasarannya adalah :
(1) Berkurangnya pelanggaran dan perusakan sumber daya pesisir dan laut;
(2) Membaiknya pengelolaan ekosistem pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil yang dilakukan secara lestari, terpadu, dan berbasis masyarakat;
(3) Serasinya peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut;
(4) Terselenggaranya desentralisasi yang mendorong pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang efisien dan berkelanjutan;
(5) Meningkatnya luas kawasan konservasi laut dan meningkatnya jenis/genetik biota laut langka dan terancan punah;
(6) Terintegrasinya pembangunan laut, pesisir, dan daratan dalam satu kesatuan pengembangan wilayah;
(7) Terselenggaranya pemanfaatan ruang laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara serasi sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
(8) Terwujudnya ekosistem pesisir dan laut yang terjaga kebersihan, kesehatan, dan produktivitasnya; serta
(9) Meningkatnya upaya mitigasi bencana alam laut, dan keselamatan masyarakat yang bekerja di laut dan yang tinggal di pesisir dan pulau-pulau kecil.
Arah kebijakan Pengelolaan Kawasan Pesisir
Pembangunan serta pengelolaan kawasan pesisir diarahkan untuk:
1. Mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara lestari berbasis masyarakat;
2. Membangun sistem pengendalian dan pengawasan dalam pengelolaan sumber daya perikanan melalui penegakan hukum;
3. Meningkatkan upaya konservasi dan merehabilitasi ekosistem yang rusak;
4. Mengendalikan pencemaran dan perusakan lingkungan wilayah pesisir, laut, dan perairan tawar;
5. Memperkuat kapasitas instrumen pendukung pembangunan kelautan yang meliputi iptek, SDM, kelembagaan dan peraturan perundangan;
6. Meningkatkan riset dan pengembangan teknologi kelautan;
7. Mengembangkan upaya mitigasi lingkungan laut dan pesisir, meningkatkan keselamatan bekerja, dan meminimalkan resiko terhadap bencana alam laut bagi masyarakat yang tinggal di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil;
8. Menggiatkan kemitraan untuk meningkatkan peran aktif masyarakat dan swasta dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil.
Program dan Pengelolaan Kawasan Pesisir
Program ini bertujuan untuk mengelola dan mendayagunakan potensi sumber daya laut, pesisir dan pulau-pulau kecil secara optimal, adil, dan lestari melalui keterpaduan antar berbagai pemanfaatan sehingga memberikan kontribusi yang layak bagi pembangunan daerah, dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Kegiatan pokok yang tercakup, antara lain:
Perumusan kebijakan dan penyusunan peraturan dalam pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil secara terintegrasi;
1. Pengelolaan sumber daya pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil secara efisien, dan lestari berbasis masyarakat;
2. Pengembangan sistem MCS (monitoring, controlling, and surveillance) dalam pengendalian dan pengawasan, termasuk pemberdayaan masyarakat dalam sistem pengawasan;
3. Penataan ruang wilayah laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil sesuai dengan daya dukung lingkungannya;
4. Pelaksanaan riset dan pengembangan teknologi kelautan, serta riset sumber daya non hayati lainnya;
5. Pengelolaan dan pengembangan kawasan konservasi laut, dan rehabilitasi habitat ekosistem yang rusak seperti terumbu karang, hutan mangrove, padang lamun, dan estuaria;
6. Peningkatan peran aktif masyarakat dan swasta melalui kemitraan dalam
7. pengelolaan sumber daya laut, pesisir, dan pulau-pulau kecil;
8. Penataan dan peningkatan kelembagaan, termasuk lembaga masyarakat di tingkat lokal;
9. Penegakan hukum terhadap pelanggar dan pelaku tindak pidana perikanan;
10. Peningkatan keselamatan, mitigasi bencana alam laut, dan prakiraan iklim laut;
11. Pengembangan wawasan kelautan, terutama bagi generasi muda dan anak -anak sekolah.
Kesimpulan
Wilayah Pesisir dan laut merupaka wilayah yang potensial dalam kehidupan masyarakat sekitanya, karena sebagian besar mata pancaharian masyarakat bertumpu pada sumberdaya di kawasan tersebut, sehingga prlu adanya pengelolaan yang terpadu dan terencana guna meningkatkan kualitas dan mempertahankan kelangsungan sumberdaya di sekitar wilayah pesisir dan laut.
Dalam UUD 1945 yang menjadi pedoman dasar bangsa Indonesiapun tertulis bahwa semberdaya alam hendaknya untuk dinikamati bersama dengan rasa kesadaran dan tanggunjawab, untuk itu berbagai pihak baik negeri (pemerintah) ataupun suwasta (LSM) berupaya untuk menjadikan kawasan pesisir dan laut menjadi kawasan yang terkelola dengan baik seperti kawasan- kawasan yang lainnya dengan dibuat peraturan- pearturan tertentu mengenai hal tersebut.
DAFTAR PUSTAKA
Dahuri, Rochmin. 2000. Strategi Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut Provinsi Daerah Istimewa Aceh, Makalah, disampaikan pada Tanggal 17 Juni 2000, Banda Aceh.
Djuned, T. 1995. Pengelolaan Lingkungan Laut Oleh Panglima Laot (Suatu Studi Di Kotamadya Banda Aceh), Laporan Penelitian. Universitas Syiah Kuala, Darussalam- Banda Aceh.
Halim, Abdul,. 2003 Sumber Daya Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Makalah, disampaikan dalam Rokornis Bapedalda Se-Provinsi
http://acehrecoveryforum.org/library/download.php?file=Bab%2032%20PERBAIKAN%20PENGELOLAAN%20SUMBER%20DAYA%20ALAM%20DAN%20PELESTARIAN%20FUNGSI%20LINGKUNGAN%20HIDUP.pdf
Post a Comment for "Pengelolaan Pesisir dan Laut"
Post a Comment
PERHATIAN :
Balasan dari komentar anonim/ unknown akan dihapus setelah 24 jam.
Menyisipkan Link hidup akan langsung DIHAPUS
Terimakasih sudah berkenan untuk berkunjung.
Simak juga komentar yang ada karena bisa jadi akan lebih menjawab pertanyaan yg akan diajukan.