Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Taujih Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah

I. Taujih Nabawi Untuk Kader

Maksud 'kader' di sini adalah siapa saja yang masih mengikuti proses
tarbiyah secara intens di berbagai jenjangnya, apa pun jabatan mereka
di jamaah dan hizb, atau yang tidak menjadi apa-apa. Ada pun bagi yang
tidak masuk kategori ini, namun ikut bermain api di dalamnya, dan ikut
memperkeruh suasana dan memprovokasi, maka kami ingatkan untuk para
kader terhadap tipuan mereka:

"Beginilah kamu, kamu menyukai mereka, Padahal mereka tidak menyukai
kamu, dan kamu beriman kepada Kitab-Kitab semuanya. apabila mereka
menjumpai kamu, mereka berkata "Kami beriman", dan apabila mereka
menyendiri, mereka menggigit ujung jari lantaran marah bercampur benci
terhadap kamu." (QS. Al Imran (3): 119)

Ya, jika mereka berdiskusi dengan kita, berhadapan dengan kita, mereka
menyatakan bahwa "Kami adalah kader tarbiyah," tetapi perilaku mereka
bak menyiram bensin di kobaran api yang kecil. Sehingga, perselisihan
kecil, nasihat biasa, dijadikannya sebagai pisau pembunuh keutuhan
jamaah hingga permasalahan melebar ke mana-mana. Untuk mereka ini,
para outsider yang ikut bersandiwara di dalam wacana dan dialektika
jamaah, maka cukuplah bagi kalian:

"Katakanlah (kepada mereka): "Matilah kamu karena kemarahanmu itu".
Sesungguhnya Allah mengetahui segala isi hati." (QS. Ali Imran (3):
119)

Sebaliknya, untuk para kader tarbiyah, diam adalah lebih baik jika
belum tahu permasalahan. Tidak terpancing emosi, bersikap, dan
komentar yang melebihi kapasitasnya. Tidak termakan berita bohong,
atau justru menjadi penyebar berita bohong. Teruslah menuntut ilmu,
berdakwah, dan beramal.

"Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai
pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan
hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (QS. Al
Isra': 36)

"Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari
golongan kamu juga." (QS. An Nur (24): 11)

Berikut adalah Taujih Nabawi yang bertebaran di
berbagai kitab hadits untuk para kader. Kami akan sampaikan beberapa
saja, di antaranya:

A. Tetaplah Taat Selama Perintah Bukan Maksiat

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:

ãóäú ÃóØóÇÚóäöí ÝóÞóÏú ÃóØóÇÚó Çááøóåó æóãóäú ÚóÕóÇäöí ÝóÞóÏú ÚóÕóì
Çááøóåó æóãóäú íõØöÚú ÇáúÃóãöíÑó ÝóÞóÏú ÃóØóÇÚóäöí æóãóäú íóÚúÕö
ÇáúÃóãöíÑó ÝóÞóÏú ÚóÕóÇäöí æóÅöäøóãóÇ ÇáúÅöãóÇãõ ÌõäøóÉñ íõÞóÇÊóáõ
ãöäú æóÑóÇÆöåö æóíõÊøóÞóì Èöåö ÝóÅöäú ÃóãóÑó ÈöÊóÞúæóì Çááøóåö
æóÚóÏóáó ÝóÅöäøó áóåõ ÈöÐóáößó ÃóÌúÑðÇ æóÅöäú ÞóÇáó ÈöÛóíúÑöåö ÝóÅöäøó
Úóáóíúåö ãöäúåõ

"Barangsiapa yang mentaatiku, maka dia telah taat kepada Allah.
Barangsiapa yang bermaksiat kepadaku, maka dia telah maksiat kepada
Allah. Barangsiapa yang taat kepada pemimpin maka dia telah
mentaatiku. Barangsiapa yang membangkang kepada pemimpin, maka dia
telah bermaksiat kepadaku. Sesungguhnya pemimpin adalah perisai ketika
rakyatnya diperangi dan yang memperkokohnya. Jika dia memerintah
dengan ketaqwaan kepada Allah dan keadilan, maka baginya pahala. Jika
dia mengatakan selain itu, maka dosanya adalah untuknya." (HR.
Bukhari, 10/114/2737. Muslim, 9/364/3417. An Nasa'i, 13/95/4122. Ibnu
Majah, 8/393/2850. Ahmad, 15/166/7125)

Hadits ini tidak syak lagi, berbicara tentang keutamaan pemimpin yang
tidak dimiliki oleh selainnya. Ketaatan kepada mereka dan
pembangkangan kepada mereka seakan disetarakan dengan ketaatan dan
pembangkangan kepada Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam. Dalam
konteks jamaah dakwah, maka para qiyadah adalah pemimpin kita.

Qiyadah seperti apa yang berhak mendapatkan ketaatan dari umatnya
(baca: kader)? Al Hafzih Ibnu Hajar mengatakan setiap yang
memerintahkan dengan kebenaran dan dia seorang yang adil, maka dia
adalah pemimpin Asy Syaari' (pembuat syariat) yang dengan syariatNya
pemimpin tersebut memerintah. (Fathul Bari, 20/152)

Jadi, patokannya adalah syariah, sejauh mana ketaatan pemimpin
tersebut kepada Allah dan RasulNya, dan syariat yang diajarkan oleh
RasulNya. Sejauh mana pula kebenaran perintah mereka dalam timbangan
syariah. Namun, sebagain ulama Ahlus Sunnah tetap mempertahankan bahwa
pemimpin yang fasiq tetaplah harus ditaati perintahnya yang baik-baik,
ada pun kefasiqannya ditanggung oleh dirinya sendiri sesuai hadits di
atas.

Untuk perintah yang maksiat kepada Allah Ta'ala dan RasulNya, maka
semua ulama sepakat tidak ada ketaatan kepada pemimpin yang memerintah
seperti itu. Banyak hadits yang menegaskan hal demikian, di antaranya:

Dari Ali bin Abi Thalib Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Tidak ada ketaatan dalam bermaksiat kepada Allah, sesungguhnya
ketaatan itu hanya ada pada yang ma'ruf (dikenal baik)." (HR. Muslim,
9/371/3424. Abu Daud, 7/210/2256. An Nasa'i, 13/114/4134. Ahmad,
2/192/686. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/156. Sementara Bukhari
meriwayatkan tanpa lafaz Laa Tha'ata fi Ma'shiyatillah, 13/237/3995)

Dari Ibnu Umar Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi
wa Sallam bersabda:

"Dengar dan taat atas seorang muslim adalah pada apa yang disukai dan
dibencinya, selama tidak diperintah maksiat. Jika diperintah untuk
maksiat, maka jangan didengar dan jangan ditaati." (HR. Bukhari,
22/52/6611. Abu Daud, 7/211/2257. At Tirmidzi, 6/300/1929. Ahmad,
9/475/4439. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 3/127)

Dari hadits-hadits ini mereka sepakat, bahwa yang tidak ditaati adalah
perintahnya saat ia memerintahkan perintah yang maksiat tersebut, baik
perintah itu datangya dari pemimpin yang adil atau zalim terhadap
rakyatnya, suami ke pada isterinya, orang tua kepada anaknya, jenderal
kepada prajuritnya, dan sebagainya.

Para ulama berbeda pendapat, apakah juga wajib tetap taat kepada
pemimpin yang fasiq dan zalim, namun belum kafir. Ini dilihat dari
sisi kepribadian pemimpin tersebut, bukan dilihat dari isi (content)
yang diperintahkannya.

Kebanyakan Ahli hadits mengatakan, tetap wajib taat kepada pemimpin
yang zalim dan fasiq, serta bersabar menghadapi mereka, selama mereka
masih menegakkan shalat, dan belum melakukan tindakan yang
mengeluarkannya dari Islam secara nyata (kufrun bawaah), dan selama
perintahnya bukan maksiat, ada pun kefasikan dan kezaliman pemimpin,
maka itu ditanggung oleh dirinya sendiri. Ini juga pendapat Imam Hasan
Al Bashri.

Sebagian muhaqqiq dari kalangan Syafi'iyah menyatakan wajibnya
mentaati pemimpin, baik perintah atau larangan, selama bukan perintah
haram. (Imam Al Alusi, Ruhul Ma'ani, 4/106)

Imam Ar Razi mengatakan, taat kepada Allah, Rasul, dan Ahli ijma'
adalah pasti (qath'i), ada pun terhadap pemimpin dan penguasa,
tidaklah taat secara pasti, bahkan kebanyakan adalah haram, karena
mereka tidaklah memerintah melainkan dengan kezaliman (li annahum Laa
ya'muruuna illa bizh zhulmi). (Mafatihul Ghaib, 5/250)

Mereka berdalil dengan banyak hadits, di antaranya hadits berikut:

"Kecuali kalian melihatnya melakukan kekafiran yang
nyata, dan kalian telah mendapatkan bukti nyata dari Allah
terhadapnya. " (HR. Bukhari, 21/444/6532. Muslim, 9/374/3427)

Dalil lainnya, dari Hudzaifah bin Al Yaman Radhiallahu
'Anhu beliau berkata:

"Ya Rasulullah, sesungguhnya mendapatkan keburukan
lalu datanglah kebaikan dari Allah, dan kami saat itu masih ada.
Apakah setelah kebaikan itu datang keburukan lagi?" Rasulullah
menjawab: "Ya." Hudzaifah bertanya: "Apakah setelah keburukan itu akan
datang kebaikan lagi?" Rasulullah mejawab: "Ya." Hudzaifah bertanya:
"Apakah setelah kebaikan akan datang keburukan lagi." Rasulullah
menjawab: "Ya." Hudzaifah bertanya lagi: "Bagaimana itu?" Rasulullah
menjawab: "Akan ada setelahku nanti, para pemimpin yang tidaklah
menuntun dengan petunjukku, tidak berjalan dengan sunahku, dan pada
mereka akan ada orang-orang yang berhati seperti hati syaitan dalam
tubuh manusia." Hudzaifah bertanya: "Apa yang aku lakukan jika aku
berjumpa kondisi itu Ya Rasulullah?" Rasulullah menajwab: "Dengarkan
dan taati pemimpinmu, dan jika punggungmu dipukul dan diambil hartamu,
maka dengarkan dan taat." (HR. Muslim, 9/387/3435. Al Baihaqi. As
Sunan Al Kubra, 8/157. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Ausath, 6/459/3003.
Al Maktabah Asy Syamilah)

Dari 'Auf bin Malik Al Asyja'i Radhiallahu 'Anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Sebaik-baik pemimpin kalian adalah yang kalian cintai dan mereka pun
mencintai kalian, mereka mendoakan kalian, dan kalian juga mendoakan
mereka. Seburuk-buruknya pemimpin kalian adalah yang kalian benci dan
mereka pun membenci kalian, kalian melaknat mereka, dan mereka pun
melaknat kalian." Rasulullah ditanya: "Ya Rasulullah tidakkah kami
melawannya dengan pedang?" Rasulullah menjawab: "Jangan, selama mereka
masih shalat bersama kalian. Jika kalian melihat pemimpin kalian
melakukan perbuatan yang kalian benci, maka bencilah perbuatannya, dan
jangan angkat tangan kalian dari ketaatan kepadanya." (HR. Muslim,
9/403/3447. Ahmad, 49/11/22856. Al Baihaqi, As Sunan Al Kubra, 8/158.
Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir, 12/431. Ad Darimi, 9/19/2853. Ibnu
Hibban, 19/182/4672. Al Maktabah Asy Syamilah)

Imam An Nawawi mengatakan, tidak dibenarkan keluar
dari ketaatan kepada pemimpin jika semata karena kezaliman dan
kefasikannya, selama dia tidak merubah kaidah-kaidah agama. (Syarh
Shahih Muslim, 6/327)

Selain itu, Imam Bukhari menulis sebuah Bab dalam
kitab Shahih-nya, Kewajiban berjihad bersama orang baik atau fajir (Al
Jihad Maadhin 'Alal Barri wal Faajir). Begitu pula Imam Abu Daud,
belaiu membuat bab dalam kitab Sunan-nya, Perang Bersama Pemimpin yang
Zalim (Fil Ghazwi ma'a A'immati Al Jauri). Sehingga Imam Ahmad
menjadikannya alasan bahwa tidak ada perbedaan antara berjihad
bersama pemimpin yang adil atau zalim, keutamaan-keutamaan jihad tetap
akan didapatkan. (Fathul Bari, 8/474). Begitu pula yang dikatakan Imam
Asy Syaukani (Nailul Authar, 11/495). Syaikh Sayyid Sabiq mengatakan,
tidak disyaratkan berjihad itu harus dengan hakim yang adil, atau
pemimpin yang baik, sebab jihad wajib dalam segala keadaan. (Fiqhus
Sunnah, 2/640)

Begitu juga dalam shalat, para ulama menetapkan
kebolehan berimam kepada orang zalim dan fasiq, karena dahulu para
sahabat, di antaranya Ibnu Umar pernah berimam kepada penguasa zalim,
gubernur Madinah, Hajaj bin Yusuf Ats Tsaqafi (pembunuh Abdullah bin
Zubeir) sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam bukhari. Sedangkan
Imam Muslim meriwayatkan bahwa Abu Said Al Khudri shalat dibelakang
khalifah Marwan. Imam An Nasa'i membuat Bab dalam kitab Sunan-nya,
Shalat Bersama Imam Zalim (Ash Shalatu Ma'a A'immatil Jauri).

Demikianlah alasan para ulama yang tetap mewajibkan
taat kepada pemimpin fasiq dan zalim, selama mereka masih muslim, dan
isi perintahnya adalah bukan maksiat.

Sementara, sebagian Imam Ahlus Sunnah lainnya
menyatakan tidak wajib taat kepada pemimpin yang zalim dan fasiq,
karena kefasikan dan kezalimannya itu, bukan hanya karena faktor isi
perintahnya saja yang berisi maksiat.

Dalilnya adalah:

"Dan janganlah kamu taati orang-orang yang melampuai batas.(yaitu)
mereka yang membuat kerusakan di bumi dan tidak mengadakan perbaikan."
(QS. Asy Syu'ara: 151-152)

"Dan janganlah kalian taati orang yang Kami lupakan hatinya untuk
mengingat Kami dan ia mengikuti hawa nafsu dan perintahnya yang sangat
berlebihan." (QS. Al Kahfi: 28)

Imam Nashiruddin Abul Khair Abdullah bin Umar bin
Muhammad, biasa dikenal Imam Al Baidhawi, berkata dalam tafsirnya,
ketika mengomentara surat An Nisa', ayat 59, bahwa yang dimaksud
dengan 'pemimpin' di sini adalah para pemimpin kaum muslimin sejak
zaman Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam dan sesudahnya, seperti
para khalifah, hakim, panglima perang, di mana manusia diperintah
untuk mentaati mereka setelah diperintah untuk berbuat adil, wajib
mentaati mereka selama mereka di atas kebenaran (maa daamuu 'alal
haqqi). (Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta'wil, 1/466)

Artinya, ketika pemimpin tersebut sudah tidak di atas
kebenaran (baik karena perilaku atau pemahaman pribadi), maka tidak
ada kewajiban taat kepadanya. Imam Al Baidhawi tidak membicarakan
tentang isi perintahnya. Makna pemimpin pun tidak sebatas pada
khalifah, tetapi juga pemimpin apa pun, termasuk dalam konteks
pembahasan kita, yakni qiyadah sebuah jamaah atau organisasi.

Bahkan Imam Abul Hasan Al Mawardi mengatakan, bahwa
umat berhak meminta pencopotan kepada pemimpin jika mereka memang
hilang ke'adalahannya, yakni melakukan kefasikan (baik karena syahwat
atau syubhat) dan cacat tubuhnya. (Imam Al Mawardi, Al Ahkam As
Sulthaniyah, Hal. 28). Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat Imam Asy
Syafi'i, Imam Ibnu Hazm, dan Imam Al Ghazali.

Bapak sosiolog Islam, Ibnu Khaldun juga mengatakan
tidak boleh dikatakan 'memberontak' bagi orang yang melakukan
perlawanan terhadap pemimpin yang fasiq. Beliau memberikan contoh
perlawanan Al Husein terhadap Yazid, yang oleh Ibnu Khaldun disebut
sebagai pemimpin yang fasiq. Apa yang dilakukan oleh Al Husein adalah
benar, ijtihadnya benar, dan kematiannya adalah syahid. Tidak boleh
dia disebut bughat (memberontak/ makar) sebab istilah memberontak hanya
ada jika melawan pemimpin yang adil. (Muqaddimah, Hal. 113)

Sebaliknya, Imam Ibnu Tamiyah menganjurkan untuk sabar, tidak
memberontak menghadapi 'musibah' pemimpin yang zalim (Majmu' Fatawa,
1/262)

Akhirnya ..., setelah panjang lebar kami menguraikan, bagaimana
menyikapi pemimpin yang melakukan penyimpangan, fasiq, dan zalim,
nampak jelas bagi kami bahwa sikap tetap taat dan sabar adalah lebih
utama dan lebih membawa maslahat, dan dapat mencegah kemudharatan
serta chaos berkepanjangan, walau keputusan dan perilaku sebagian
qiyadah sangat 'menggeramkan' dan 'menjengkelkan' menurut sebagian
kader, yang penting kader tidak diperintah untuk maksiat yang nyata,
dan baik sangka lebih dikedepankan, bahwa mustahil qiyadah
memerintahkan kadernya untuk maksiat kepada Allah Ta'ala. Dan wajh
istidlal (sisi pendalilan) sikap ini pun lebih argumentatif dan
legitimate.

Dari Ibnu Abbas Radhiallahu 'Anhu, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa
Sallam bersabda:

"Barangsiapa yang melihat pemimpinnya ada sesuatu yang
dibencinya, maka hendaknya dia bersabar, sebab barang siapa yang
memisahkan diri dari jamaah walau sejengkal lalu dia mati, maka
matinya dalam keadaan jahiliyah." (HR. Bukhari, 21/443/6531. Muslim,
9/390/3438. Ahmad, 5/389/2357. Ath Thabarani, Al Mu'jam Al Kabir,
10/305/12590. Al Baihaqi, Syu'abul Iman, 16/46/7239. Ad Darimi,
8/6/2574. Abu Ya'la, 5/402/2293)

Dari hadits ini, tentu kami tidak mengatakan
'jahiliyah' orang yang keluar dari jamaah tarbiyah, sebab hadits ini
sedang berbicara tentang jamaatul muslimin (jamaah umat Islam
keseluruhan) . Tetapi ada pelajaran berharga dari hadits ini yakni
perintah Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam kepada umatnya agar
bersabar menghadapi pemimpin yang perilaku, pemahaman, atau
keputusannya tidak disukai mereka. Ini alasan yang kuat kenapa kader
hendaknya mengambil sikap taat dan sabar. Kami rasa sikap ini lebih
bisa dipertanggungjawabk an secara keilmuan, karena didasari oleh dalil
dan pandangan para ulama, bukan karena emosi.

Imam An Nawawi menjelaskan makna miitatan jahiliyah (mati jahiliyah)
dalam hadits tersebut, dengan huruf mim dikasrahkan (jadi bacanya
miitatan bukan maitatan), artinya kematian mereka disifati sebagaimana
mereka dahulu tidak memiliki imam (pada masa jahiliyah). (Syarah
Shahih Muslim, 6/322/3436)

Sementara Imam Asy Syaukani dalam Nailul Authar,
menjelaskan; bahwa yang dimaksud dengan miitatan jahiliyah dengan
huruf mim yang dikasrahkan adalah dia mati dalam keadaan seperti
matinya ahli jahiliyah yang tersesat di mana dia tidak memiliki imam
yang ditaati karena mereka tidak mengenal hal itu, dan bukanlah yang
dimaksud matinya kafir tetapi mati sebagai orang yang bermaksiat.
(Imam Asy Syaukani, Nailul Authar, 11/399)

Ada pun surat Al Kahfi ayat 28: "Dan janganlah kalian taati orang yang
Kami lupakan hatinya untuk mengingat Kami." Tidak bisa dijadikan
hujjah, sebab maksudnya adalah orang-orang yang hatinya lebih condong
kepada syirik dibanding tauhid. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir,
4/384). Atau menyibukkan diri dengan dunia dan melupakan ibadah dan
Rabbnya. (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Quran Al Azhim, 5/154). Apakah
ada yang tega menyebut qiyadah telah melakukan syirik yang nyata?
(misal, karena iklan Soekarno, "Aku adalah budak rakyatku," yang
membawa dampak Syirk lafzhiyah). Atau mengatakan, qiyadah telah
mendahulukan dunia di banding ibadah dan Rabbnya, bukankah mereka
memiliki lembaran mutaba'ah harian? Maka, bagi (kader) yang
menyatakan demikian, maka dia telah ghuluw (kelewat batas) dan lebih
mendahulukan zhan.

Masalahnya adalah benarkah qiyadah telah melakukan tindakan kefasiqan,
kezaliman, dan apa pun yang membuatnya layak untuk tidak ditaati
menurut sebagian ulama? Ataukah itu karena perasaan, tuduhan, atau
informasi yang tidak utuh, atau ada pihak ketiga yang bermain dan
lebih dipercaya oleh kader, atau hanya karena perbedaan ijtihad
politik saja? Jika benar qiyadah telah melakukan kefasiqan dan
kezaliman, itu pun bukan alasan yang kuat untuk membangkang
sebagaimana uraian panjang di atas. Jika tidak benar, maka lebih tidak
ada alasan lagi untuk membangkang. Namun, seharusnya qiyadah pun
harus memberikan penjelasan, tanpa ada yang disembunyikan, tentang
berbagai masalah yang digugat oleh kader. Wallahu A'lam

B. Meninggalkan Perdebatan Yang Tidak Berguna

Tanpa disadari, sebagian kader terlena dalam perdebatan panjang dan
sengit, dan mengabaikan akhlak Islam, namun tidak produktif dan justru
mengotorkan hati.

"Ada empat hal yang barangsiapa keempat hal itu ada pada diri
seseorang maka dia adalah munafik sejati, dan barangsiapa yang
memiliki satu saja, maka dia memiliki perangai kemunafikan sampai dia
meninggalkannya, yaitu: jika diberi amanah dia khianat, jika bicara
dia berbohong, jika berjanji dia melanggar, dan jika berbantahan
buruk akhlaknya." (HR. Bukhari, 1/59/33. Muslim, 1/190/88. Abu Daud,
12/298/4068. At Tirmidzi, 9/222/2556. An Nasa'i, 15/219/4934. Ibnu
Hibban, 1/497/254)

Maka, hendaknya kader dakwah meninggalkan perdebatan sengit yang
memancing emosi dan melunturkan akhlak, sebab ditakutkan tumbuhnya
bibit kemunafikan dalam hati kita, paling tidak perbuatan persebut
menyerupai orang munafiq sebagaimana yang dijelaskan para ulama.

Imam An Nawawi memberikan penjelasan, bahwa para ulama telah ijma'
barang siapa yang sudah beriman di hati dan diucapkan dengan lisan,
lalu dia melakukan hal-hal yang ada dalam hadits ini, maka mereka
tidaklah dihukumi kafir dan tidak pula dihukumi munafiq yang
membuatnya kekal di neraka, sebab saudara-saudara Nabi Yusuf
'Alaihissalam telah melakukan semua perilaku ini. Demikian juga
ditemukan bagi sebagian salaf dan ulama, baik sebagian atau
seluruhnya. Hadits ini, segala puji bagi Allah, tidak ada kemusykilan,
hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam memaknainya. Pendapat
para muhaqqiq yang mayoritas, dan menjadi pendapat pilihan yang benar
adalah perangai-perangai ini adalah perangai munafiq, bagi pelakunya
dia telah menyerupai orang munafiq dan berakhlak dengan akhlak mereka
(kaum munafiq). Ada pun nifaq, adalah menampakkan apa-apa yang
dihatinya berbeda. Pengertian ini memang ada pada orang-orang yang
melakukan perangai tersebut, yang menjadikannya nifaq secara hak dalam
dirinya, berupa pembicaraannya, janjinya, amanahnya, atau
berbantahannya. Tetapi ini bukanlah munafiq yang zhahirnya menampakkan
Islam dan hatinya kufur. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi wa Sallam
tidaklah bermaksud munafiq di sini adalah munafiq yang membuat
pelakunya adalah kafir dan kekal di neraka paling bawah. (Syarh Shahih
Muslim, 1/150/88. Lihat pula keterangan lebih ringkas di 'Aunul
Ma'bud, 10/207)

Imam At Tirmidzi mengatakan bahwa para ulama mengartikan nifaq pada
hadits ini adalah nifaq amal (nifak perbuatannya) , bukan nifaq takdzib
(nifaq karena kobohongan dihatinya) sebagaimana pada zaman Rasulullah
Shallallahu 'Alaihi wa Sallam, demikianlah yang diriwayatkan dari Al
Hasan Al Bashri, bahwa nifaq ada dua, yakni nifaq amal dan nifaq
takdzib. (Sunan At Tirmidzi, 9/222). Al Hafizh Ibnu Hajar juga
mengatakan bahwa nifaq di sini adalah bahwa pelakunya dihukum seperti
munafiq, yakni nifaq amal. (Fathul Bari, 1/54)

Kita pun diperintahkan untuk meninggalkan perbuatan yang tidak
bermanfaat. Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah
Shalallahu 'Alaihi wa SallamI bersabda:

"Di antara baiknya Islam seseorang adalah ia meninggalkan hal-hal yang
tidak bermanfaat." (HR. At Tirmidzi,8/294/ 2239. Malik, 5/381/1402,
dari Ali bin Husein bin Ali bin Ab Thalib. Ibnu Majah, 11/ 472/3966.
Ahmad, 4/168/1646, dari Ali bin Abi Thalib. Dishahihkan Syaikh Al
Albani dalam Misykah Al Mashabih, 3/49/4839)

Imam Hasan Al Banna juga mengatakan dalam 10 wasiatnya, pada wasiat
no. 4: "Tinggalkanlah perdebatan dalam masalah dan kondisi, karena
perdebatan tidaklah mendatangkan kebaikan." (Risalatut Ta'alim wal
Usar, Hal. 39. Darun Nashr Liththiba'ah Al Islamiyah)

C. Tetap Menjaga Persatuan dan Soliditas

Tanpa adanya persatuan dan soliditas, maka kelemahan yang akan kita
dapatkan. Sayangnya kelemahan jamaah terjadi karena ulah kita sendiri.

"Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu
berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang
kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang
yang sabar." (QS. Al Anfal (8): 46)

Maka beranilah memulai untuk memahami, memaklumi, dan memaafkan
sesama ikhwah sebagai awal soliditas jamaah, berada di pihak mana pun
kita. Serta menghilangkan kebencian, dengki (hasad), tajassus,
memutuskan silaturrahim, cuek, memboikot (hajr), sesama elemen jamaah.

"Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu Berlaku lemah lembut
terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar,
tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. karena itu
ma'afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu kemudian apabila kamu
telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya."
(QS. Ali Imran (3): 159)

Dari Abu Hurairah Radhiallahu 'Anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu
'Alaihi wa Sallam bersabda:

"Hati-hatilah dengan prasangka, karena prasangka adalah
sedusta-dustanya perkataan. Janganlah saling mendengarkan keburukan,
saling mencari kesalahan, saling mendengki , saling tidak peduli,
saling membenci, dan jadilah kalian hamba Allah yang bersaudara." (HR.
Bukhari, 19/8/5604)

Hadits serupa sangat banyak, hanya saja berbeda sedikit
matan(redaksi) -nya . Ada yang wa laa tanaajasyu (jangan saling
memfitnah) (Bukhari, 19/11/5606), atau wa laa taqaatha'uu (jangan
saling memutuskan silaturahim) (Muslim, 12/415/4642) , atau wa laa
tanaafasuu (jangan saling bersaing/bermegah- megah) (Muslim,
12/421/4646) , ada juga tambahan, "tidak halal bagi seorang muslim
mendiamkan saudaranya leih tiga hari." (HR. At Tirmidzi, 7/180/1858,
dari jalur Anas, hasan shahih), dan yang semisalnya.

Syahidul Islam, Imam Hasan Al Banna Rahimahullah berkata:

"Ukhuwah adalah keterikatan hari dan ruh dengan ikatan aqidah. Ikatan
aqidah adalah ikatan yang paling kuat dan paling mulia. Ukhuwah adalah
saudara keimanan, dan perpecahan adalah saudara kekufuran; kekuatan
yang pertama adalah kekuatan persatuan, tak ada persatuan tanpa rasa
cinta, dan sekecil-kecilnya cinta adalah lapang dada, dan yang paling
tinggi adalah itsar (mendahulukan kepentingan saudara)." Barangsiapa
Yang menjaga serta memelihara dirinya daripada dipengaruhi oleh tabiat
bakhilnya, maka merekalah orang-orang yang berjaya.(QS. Al Hasyr: 9)

Al Akh yang benar akan melihat saudara-saudaranya yang lain lebih
utama dari dirinya sendiri, karena ia jika tidak bersama mereka, tidak
akan dapat bersama yang lain. Sementara mereka jika tidak bersama
dirinya, akan bisa bersama orang lain. Dan sesungguhnya Srigala hanya
akan memangsa kambing yang sendirian. Seorang muslim dengan muslim
lainnya laksana satu bangunan, saling menguatkan satu sama lain.

Dan orang-orang beriman baik laki-laki dan perempuan, satu sama lain
saling tolong menolong di antara mereka. (QS. At Taubah (9): 71).
Begitulah seharus kita." (Al Imam Asy Syahid Hasan al Banna, Majmu'ah
ar Rasail, hal. 313. Al Maktabah At Taufiqiyah)

Wallahu A'lam

Post a Comment for "Taujih Nabawi Untuk Kader dan Qiyadah"